Elektabilitas Parpol, Stabil tapi Kurang Berakar

0
558

Kurang berakar

Jika sistem kepartaian sudah menunjukkan indikasi stabilitas, logikanya, sistem kepartaian tersebut memiliki akar yang kokoh di masyarakat.

Indikator utama untuk melihat keberakaran ini adalah konsep identifikasi partai (party identification, party id). Makna party id adalah tingkat ikatan emosional dan psikologis dari pemilih terhadap partai tertentu dan kecenderungannya untuk selalu memilih partai tersebut dari pemilu ke pemilu.

Makin tinggi tingkat ikatan itu, maka makin tinggi party id. Selanjutnya, makin tinggi party id, menunjukkan makin berakarnya sistem kepartaian.

Dibaca secara terbalik, sistem kepartaian yang stabil mestinya ditopang oleh tingkat party id yang tinggi. Di sinilah muncul pertanyaan. Data menunjukkan bahwa selama lebih dari 20 tahun terakhir, tingkat party id Indonesia sangat rendah, yaitu di kisaran 10-15 persen saja. Artinya, hampir 90 persen pemilih Indonesia tidak punya ikatan emosional dan psikologis terhadap partai tertentu.

Artinya, hampir 90 persen pemilih Indonesia tidak punya ikatan emosional dan psikologis terhadap partai tertentu.

Maka, secara teoretis, pemilih yang demikian cenderung mudah berpindah partai dari pemilu ke pemilu. Jika perpindahan terjadi secara mudah, sistem kepartaian tidak stabil.

Baca Juga  PANTAI, BAHAYA DIBALIK KEINDAHANNYA: MENGENAL FENOMENA LAUT (RIP CURRENT) – TRAGEDI MAHASISWA KKN PESISIR BARAT LAMPUNG

Selain party id yang rendah, ada indikasi lain yang menunjukkan sistem kepartaian Indonesia kurang berakar, yaitu tingkat kepercayaan (trust) yang rendah dari masyarakat terhadap partai politik. Dibandingkan dengan lembaga lain, terutama presiden, lembaga pengadilan (MK dan MA), dan tentara, tingkat kepercayaan pada partai politik dan DPR selalu paling rendah.

Pada Oktober 2022, misalnya, tingkat kepercayaan pada partai politik adalah 44 persen, sedangkan untuk DPR adalah 48 persen. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan TNI (88 persen), Presiden (80 persen), dan Mahkamah Konstitusi (62 persen).

Dengan party id yang sangat rendah dan tingkat kepercayaan publik yang juga rendah, dapat dikatakan jarak antara partai politik dan masyarakat cukup jauh. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa sistem kepartaian kurang berakar di masyarakat. Sistem kepartaian Indonesia, setelah lima kali pemilu lima tahunan, terlihat stabil, tapi kurang berakar.

Baca Juga  PERLUKAH KARYAWAN MENGIKUTI PENGAJIAN?

Mengapa dua hal yang tampak bertentangan ini terjadi?

Jawaban yang lebih kuat memerlukan penelitian yang mendalam. Namun, ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskannya. Pertama, meskipun partai politik banyak, sebetulnya hanya ada dua orientasi ideologis dalam sistem kepartaian Indonesia, yakni partai berorientasi Islamis dan partai berorientasi sekuler.

Perpindahan suara akibat party id yang rendah itu mungkin masih kerap terjadi, tetapi terbatas pada kotak Islamis atau sekuler saja.

Kedua, karena relatif tidak ada perbedaan orientasi kebijakan ekonomi dan sosial antarpartai, perubahan dukungan yang besar hanya mungkin terjadi kalau ada figur (misalnya calon presiden sekaligus ketua umum partai) yang sangat populer dan bersifat lintas sektor/kelompok.

Ini pernah terjadi pada 2004, dengan adanya figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Setelah 2004, tidak ada lagi figur seperti ini.

Baca Juga  Langkah-langkah Akselerasi Penyerapan DAK Fisik Lampung

Ketiga, karena pemilu sudah berlangsung lebih dari tiga siklus, ditambah ada ribuan pemilu di tingkat lokal, maka para pemilih sudah mulai terbiasa memilih partai tertentu (learning curve). Walaupun pilihan itu lebih karena kebiasaan saja (bukan karena party id), karena dari pemilu ke pemilu tidak ada hal-hal luar biasa yang terjadi, sehingga pilihan terhadap partai juga menjadi stabil.

Keempat, ambang batas parlemen tampaknya berpengaruh. Kalau kita bandingkan, ternyata volatilitas pemilu legislatif di tingkat nasional lebih rendah dibandingkan dengan di tingkat lokal yang tidak menerapkan ambang batas parlemen. Volatilitas pemilu di tingkat provinsi adalah 32,4 persen (2004-2009), 23,2 persen (2009-2014), dan 20,1 persen (2014-2019).

Djayadi HananDosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII); Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)