Dari hasil kebun zaitun dan pertokoan yang ia wakafkan, operasional masjid dan pendidikan ditanggung tanpa pungutan biaya. Para ulama besar seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Arabi, Ibnu Ajurrum, Ibnu Banna, dan bahkan Paus Sylvester II dari Eropa, pernah menimba ilmu di sana.
Lebih dari itu, pada masa-masa krisis, negara bahkan meminjam dana dari kas wakaf universitas ini. Dana wakafnya juga mengalir untuk membantu Masjidil Aqsha dan dua Masjid Suci di Makkah dan Madinah.
Inovasi Wakaf: Dari Perabot Pecah hingga Liburan Kaum Dhuafa
Wakaf dalam sejarah Islam tidak berhenti di pendidikan dan masjid. Ia hadir dalam bentuk-bentuk yang sangat kreatif dan menyentuh sisi terdalam kemanusiaan:
Wakaf Perkawinan Tunanetra: membantu pasangan difabel menikah dan menyediakan penginapan bulan madu gratis.
Wakaf Roti Harian di Lebanon: siapa pun yang lapar bisa mengambil roti tanpa prosedur.
Wakaf Susu untuk Ibu dan Anak di Damaskus: hasil peninggalan Shalahuddin al-Ayyubi.
Wakaf Perabot Pecah: jika pelayan atau anak kecil memecahkan barang, bisa diganti tanpa dimarahi—menjaga psikologi dan nilai kasih sayang.
Wakaf Vila Liburan: Nuruddin Zanki membangun vila di kawasan elit Damaskus agar kaum dhuafa bisa merasakan liburan setara orang kaya.
Wakaf Konsultasi Keluarga: di Marrakech, terdapat rumah wakaf yang menampung perempuan korban kekerasan rumah tangga.
Wakaf untuk Menghibur Pasien, Wakaf Musik Terapi, hingga Wakaf Bibit dan Buah Pohon untuk Musafir.
Bahkan ada wakaf khusus untuk membantu ahli kitab (non-Muslim) miskin. Ini membuktikan bahwa wakaf adalah salah satu bentuk rahmatan lil ‘alamin dalam bentuk nyata.
Pelajaran Besar: Wakaf Bukan Sekadar Aset, Tapi Sistem
Sayangnya, hari ini banyak wakaf hanya dimaknai sebagai aset fisik—tanah atau bangunan. Namun tanpa perencanaan dana operasional, sekolah wakaf tetap mahal, masjid tetap bergantung pada kotak infak. Padahal, wakaf sejati adalah sistem. Setiap proyek wakaf selalu disertai dengan sumber pendanaan yang mandiri, baik dari kebun, pasar, atau properti sewaan. Sudah saatnya umat Islam kembali memahami dan membangun wakaf sebagai strategi peradaban, bukan sekadar proyek amal jangka pendek.
Menghidupkan Mesin Peradaban Itu Kembali
Fatimah al-Fihri dan Ibnu Batutah adalah dua figur dari sisi yang berbeda: satu sebagai pemberi, satu sebagai penerima. Tapi keduanya terhubung oleh satu kata: wakaf. Jika Ibnu Batutah bisa menjelajahi dunia tanpa kehabisan bekal, dan Fatimah bisa mendirikan universitas yang melayani dunia hingga hari ini, maka kita juga bisa memulai kembali peradaban itu—asal tahu dari mana harus memulai. Dan jawabannya, kembali: wakaf.