Quo Vadis Pejabat Publik: Mengembalikan Ruh Pelayanan dalam Kekuasaan

0
7

KERUSUHAN sosial yang terjadi pada akhir Agustus 2025, seharusnya tidak dilihat sekadar sebagai gejolak spontan rakyat. Ia merupakan cerminan mendalam dari rapuhnya hubungan antara warga negara dan para pemegang kekuasaan. Di balik peristiwa tersebut tersimpan dua akar persoalan utama: kesenjangan sosial-ekonomi yang kian melebar dan perilaku koruptif serta tidak etis di kalangan elite.

Kesenjangan pendapatan dan akses terhadap lahan telah menciptakan jarak struktural yang memisahkan rakyat dengan penguasa. Dalam waktu yang sama, perilaku para pejabat publik yang terjebak dalam gaya hidup hedonistik menambah luka kolektif masyarakat. Tidak sedikit pejabat yang kehilangan kemampuan membedakan ruang publik dan ruang privat. Mereka gemar memamerkan kekayaan (flexing) di tengah penderitaan rakyat, seolah-olah kemewahan menjadi simbol keberhasilan. Fenomena ini diperparah lemahnya sistem hukum yang gagal memberi efek jera terhadap pelaku korupsi.

Baca Juga  Mahkamah Konstitusi Kabulkan Gugatan Akhir Masa Jabatan Kepala Daerah 2023

Akibatnya, pelanggaran etika dan penyalahgunaan kekuasaan bukan hanya menjadi praktik biasa, tetapi telah berubah menjadi budaya.

Polarisasi sosial pun membesar — bukan hanya antara rakyat dan penguasa, tetapi juga di antara para elit sendiri. Hakikat kepemimpinan: Dari Leiden sampai Khodim Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk kembali meninjau hakikat kepemimpinan dari perspektif filosofis. Baik tradisi Barat maupun Islam sepakat bahwa memimpin berarti menanggung beban. Barat mengenal adagium “to lead is to suffer” (Leiden is Lijden) — memimpin adalah menderita.