Oleh : Zainudin Hasan,SH,MH
Suntan Ratu Yang Tuan
Komisaris Utama wawaimedia.com
Indonesia adalah Negara yang kaya akan adat dan budaya, saat ini tercatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa, dan 742 bahasa ibu yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sepanjang Nusantara, ditambah lagi dengan adat istiadat serta hukum adat dimana setiap suku bangsa memiliki adat istiadat dan hukum adat tersendiri sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Kesemuanya itu merupakan kekayaan asli bangsa yang bisa saja akan terus bertambah apabila ada yang memang fokus dan konsen meneliti tentang kekayaan adat dan budaya bangsa tersebut. Dalam perkembangan masyarakat adat Indonesia yang heterogen dan kompleks ada banyak kearifan lokal yang masih terpendam dan belum banyak digali oleh para akademisi dan peneliti, seperti halnya dengan Provinsi Lampung, ada banyak pelajaran tentang nilai-nilai budaya warisan nenek moyang yang dapat diambil salah satunya adalah yang dikenal dengan istilah Hulu Tulung.
Makna Hulu Tulung apabila diartikan secara bahasa Hulu artinya adalah kepala dan Tulung yang berarti menolong. Menolong disini pengertiannya lebih kepada tempat sumber mata air atau tempat air berasal yang juga sebagai tempat berkembang biaknya flora dan fauna yang “dijaga” dan dipelihara kelestariannya oleh masyarakat adat melalui sarana kepercayaan orang Lampung tentang pantangan memasuki daerah hulu tulung tersebut karena dianggap kerahmat (keramat) yang apabila dilanggar akan mendapatkan bala’ dari Tuhan atau Tegor-tegoran dari Nenek moyang. Hulu Tulung yang menjadi daerah larangan tersebut biasanya selalu ada disetiap Huma atau ladang masyarakat adat Lampung dimana pada setiap hulu tulung dianggap seolah-olah sebagai tempat “suci” sehingga tempat tersebut tidak boleh diganggu gugat keberadaannya karena apabila dilanggar pelaku akan mendapatkan bala’ dari Tuhan dan mendapat tegor-tegoran dari nenek moyang.
Kepercayaan tentang akan adanya bala’ dari Tuhan dan Tegor-tegoran dari Nenek moyang tersebut dapat berlaku apabila telah terjadi pelanggaran atas larangan seperti dengan sengaja memasuki kawasan hulu tulung tersebut dengan merambah, membakar, mengambil hasil hutan yang ada di dalamnya baik berupa tumbuhan maupun hewan, membuang sampah atau sesuatu kesana, berteriak-teriak, ataupun mengungkapkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan ketika berada disana. Menurut kepercayaan apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan maka sipelaku akan mendapatkan bala’ dari Tuhan atau tegor-tegoran dari Nenek moyang dengan dihinggapi penyakit misterius yang sulit untuk disembuhkan atau mendapatkan celaka yang suatu saat akan menimpanya.
Kepercayaan masyarakat adat Lampung terhadap keramat-nya Hulu Tulung tersebut telah terjadi secara turun temurun meskipun pada zaman sekarang sudah mulai dilupakan dan lambat laun hilang ditelan oleh pesatnya perkembangan zaman. Manusia modern yang ada saat ini perlahan tidak lagi mengindahkan tentang arti penting sebuah warisan kearifan lokal yang sarat dengan pesan-pesan moral, kemanfaatan, kelestarian, dan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Manusia modern sekarang terkadang dengan dalih pembangunan justru merusak lingkungan secara massif, gunung-gunung dan bukit dikeruk tanahnya, penambangan dan eksploitasi secara serampangan, hutan-hutan dibabat habis, lahan-lahan produktif seperti persawahan disulap menjadi perumahan, belum lagi rawa-rawa dan sumber resapan (cache area) ditimbun kemudian berubah dijadikan pabrik, Mall, dan perumahan-perumahan baru atas nama investasi tanpa memperhatikan akibat yang akan terjadi kemudian. Maka tidak heran untuk tempat tertentu ketika hujan turun yang seharusnya menjadi berkah bagi umat manusia justru menjadi bencana karena banjir dan tanah longsor. Sebaliknya apabila terjadi musim kemarau kekeringan terjadi dimana-mana diakibatkan hilangnya sumber-sumber resapan dan hilangnya hutan serta tanaman-tanaman tumbuh diperbukitan.
Perilaku masyarakat modern nyaris seperti tidak takut akan balasan dari Alam dan Tuhan, kerja-kerja mereka dengan meng-urug rawa, menimbun lautan, menggusur bukit gunung, dan membabat habis hutan adalah melawan sunnatullah alam bahkan perilaku manusia-manusia itu penulis pernah abadikan dalam sebuah puisi yang berjudul “bekerja melawan Tuhan” sebagai akibat begitu sangat berani mereka melawan sunnatullah berkedok investasi dan pembanguan.