Oleh : Zainudin Hasan,SH,MH
Suntan Ratu Yang Tuan
Komisaris Utama wawaimedia.com
Hak Ulayat merupakan hak atas penguasaan tanah atau wilayah adat, penguasaan secara komunal wilayah atau tanah tersebut merupakan rangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Hak Ulayat secara teoritis memiliki dua unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur tugas-kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang termasuk bidang hukum publik. Unsur kewenangan yang termasuk hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Kepala Adat sendiri atau bersama-sama dengan para Tetua Adat pada masyarakat hukum adat yang dalam masyarakat lampung disebut sebagai Perwatin.
Tanah adat berkonsep komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong, kelestarian, kekeluargaan dan diliputi suasana religius magis. Tanah adat merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau genealogik. Hak-hak perseorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Sifat komunalistik tampak terlihat dari adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang berada dalam konsep dasar tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan Ghaib atau peninggalan nenek puyang kepada kelompok masyarakat adat sebagai unsur pendukung utama bagi penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Tanah bersama tersebut bukan hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sesuatu generasi, tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung utama dalam kehidupan dan penghidupan generasi yang terdahulu, sekarang dan yang akan datang. Begitu pentingnya hak bersama tersebut maka wajib dikelola dengan baik dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama secara lestari, terus menerus dan berkesinambungan.
Hak ulayat apabila dikaji dari sisi hukum merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayat, sebagai “lebensraum” para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, air, tumbuhan, hewan, dan kekayaan alam didalamnya pada wilayah tersebut. Wewenang dan kewajiban tersebut timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-menurun antara masyarakat hukum adat dengan wilayah bersangkutan. Hubungan itu, selain merupakan hubungan lahiriah, juga merupakan hubungan batiniah bersifat religius magis yaitu berdasarkan kepercayaan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, bahwa wilayah tersebut adalah pemberian suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang untuk dipergunakan bagi kelangsungan hidup dan penghidupan sepanjang masa.
Bahwa masyarakat adat lampung memiliki hak ulayat, hal ini dapat dilihat pada surat-surat SKT (Surat Keterangan Tanah) yang ada di Lampung yang banyak menerangkan tentang Hak Milik Adat atas tanah, hal ini didukung pula oleh pernyataan dari Ter Haar dalam bukunya Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, yang menceritakan tentang masyarakat adat Lampung dalam suatu wilayah bahwa “Gerombolan itu berhak atas tanah itu, mempunyai hak tertentu atas tanah itu dan melakukan hak baik keluar maupun kedalam, berdasarkan atas berlaku haknya keluar maka gerombolan itu sebagai kesatuan berkuasa memungut hasil dari tanah itu”. Dari apa yang disampaikan oleh Ter Haar tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat lampung yang disebut “gerombolan” itu sebagai kelompok komunal atau persekutuan dalam kesatuan yang memiliki hak atau kuasa secara bersama-sama untuk mengelola, mengambil, dan memanfaatkan hasil-hasil yang dihasilkan oleh tanah tersebut di wilayah lampung.