HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT LAMPUNG (HAK KUASA TANAH ATAU WILAYAH ADAT)

0
919

Sebenarnya dalam hukum adat, khususnya Lampung pada mulanya tidak memberikan suatu nama khusus untuk sebuah istilah tanah adat. Menurut Djamat Samosir dalam bukunya Hukum Adat Indonesia terdapat nama-nama yang menunjuk kepada tanah yang merupakan lingkungan wilayah sebagai sebutan bagi wilyahnya pada sebuah masyarakat adat, yaitu tanah wilayah sebagai kepunyaan (pertuanan-Ambon), tanah sebagai tempat memberi makan (payampeto-Kalimantan), tanah sebagai daerah yang dibatasi (wewengkon-Jawa), dan tanah sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan-Bolang Mangandow). Dari beberapa macam sebutan kepemilikan terhadap tanah adat tersebut kemudian Ter Haar menggunakan istilah tanah-tanah adat tersebut berdasarkan daerah asalnya seperti limpo (Sulawesi Selatan), muru (Buru), torluk (Angkola), payar (Bali), paer (Lombok), dan ulayat (Minangkabau). Kemudian setelah di sahkannya Undang Undang Pokok Agraria tentang Pertanahan Nomor 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960 yang pada Pasal 3 nya menggunakan istilah Hak Ulayat untuk hak-hak atas kepemilikan tanah adat. Penguasaan terhadap tanah adat atau hak ulayat tersebut berada dibawah pengelolaan adat atau penguasa adat yang berwenang menunjuk hutan-hutan tertentu sebagai hutan cadangan, yang tidak boleh dibuka oleh siapapun. 

Baca Juga  Komunikasi Asertif ala Nabi Muhammad SAW

Tanah adat yang bermakna “lingkungan kepunyaan” atau Patuanan (Ambon), “daerah sumber bahan makanan” atau Panjampeto (Kalimantan), “daerah yang terbatas” atau Prabumian (Bali), dan “tanah yang terlarang bagi orang lain” atau Totabuan (Bolaang Mongondow). Bagi masyarakat adat Lampung sejak dahulu mengenal Istilah Hulu Tulung, yaitu suatu tempat atau wilayah berupa hutan terlarang. Hulu tulung tersebut merupakan tempat sumber mata air atau tempat air berasal yang juga sebagai tempat berkembang biaknya flora dan fauna yang “dijaga” dan dipelihara kelestariannya oleh masyarakat adat. Hulu Tulung yang menjadi daerah larangan tersebut biasanya selalu ada disetiap Huma atau ladang masyarakat adat Lampung dimana pada setiap hulu tulung wajib dijaga, tidak boleh diganggu gugat keberadaannya karena apabila dilanggar pelaku akan mendapatkan bala’ dari Tuhan dan mendapat tegor-tegoran dari nenek moyang.

Baca Juga  BEHUMA, CARA BERKEBUN ORANG LAMPUNG

Hulu Tulung bagi masyarakat adat lampung merupakan tanah larangan, daerah yang terbatas dan merupakan warisan nenek puyang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan tentang ciri sebuah tanah ulayat bahwa di dalamnya terdapat masyarakat adat yang memiliki seperangkat aturan hukum berupa perintah, anjuran-anjuran dan larangan-larangan dimana setiap orang wajib menegakkan aturan tersebut. Wilayah yang dikerahmatkan seperti hutan, sungai, danau yang dalam aturan tata titi adat terdapat larangan tersebut jelas-jelas mengandung unsur religius magis sebagaimana ciri dari tanah ulayat yang memiliki esensi tujuan untuk keseimbangan alam, kelestarian, menghindari eksplorasi yang berlebihan, memelihara kesinambungan, demi kesejahteraan dan keselamatan masyarakat itu sendiri dimasa depan. 

Selain mengenai hutan terbatas atau terlarang seperti Hulu Tulung, ada wilayah teritorial lain yang dimiliki, dijaga dan dikelola oleh masyarakat adat lampung. Terdapat wilayah yang dikelola secara komunal oleh masyarakat adat, tempat-tempat tersebut seperti Komplek Pemakaman tua atau Kerahmat, Balai adat, Nuwa atau Nuwo Sessat Adat sebagai tempat dilaksanakannya upaca Adat dan kegiatan-kegiatan adat yang penguasaan dan pengelolaannya dilakukan secara bersama oleh masyarakat. Ataupun berupa tanah lapang kosong yang digunakan secara bersama sebagai tempat kegiatan-kegiatan, tempat dilepaskannya gembalaan ternak, atau dijadikan sebagai fasilitas umum ketika ada kegiatan bersama.

Baca Juga  Angkon Muakhi, Budaya Mengangkat Saudara 

Wewenang (hak dan kewajiban) masyarakat adat terhadap tanah ulayat timbul dari hubungan secara lahir batin sebagai akibat hubungannya dengan tanah dan telah berlangsung secara turun temurun. Hubungan itu selain merupakan hubungan lahiriah juga merupakan hubungan batiniah yang bersifat religius magis, yakni berdasarkan kepercayaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, bahwa tanah atau wilayah adalah pemberian suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang yang diperuntukkan bagi kelangsungan hidup dan penghidupannya serta bagi keturunan atau generasinya sepanjang masa, dimana hubungan tersebut merupakan hubungan yang bersifat abadi.