Gejala stabilisasi
Sejumlah indikasi menunjukkan bahwa sistem kepartaian Indonesia mengalami stabilisasi selama lebih dari dua dekade terakhir. Ini berarti, pola kompetisi antarpartai mulai terbentuk dan pemilih mulai punya kebiasaan memilih partai-partai yang sudah dikenal dan memiliki kemampuan lolos ambang batas parlemen.
Sejumlah indikasi itu adalah pertama, jumlah pemilih yang berpindah dukungan dari satu partai ke partai lain dari satu pemilu ke pemilu berikutnya cenderung menurun. Hal ini ditunjukkan oleh menurunnya indeks volatilitas pemilu (VP/electoral volatility) atau Indeks Pederson (1979).
VP diperoleh dari selisih suara dari satu partai dari satu pemilu ke pemilu berikutnya dihitung, lalu dijumlahkan dengan partai-partai lain, ditambah dengan total suara partai baru, lalu dibagi dua.
Hingga saat ini, Indonesia memiliki empat Indeks Pederson (IP), yaitu 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019. Berturut-turut, IP Indonesia adalah 25,3 persen, 29,5 persen, 19,9 persen, dan 12,7 persen. Total pemilih yang berpindah partai dari Pemilu 1999 ke 2004 ada di kisaran 25,3 persen, lalu meningkat menjadi 29,5 persen pada Pemilu 2009.
Sejak Pemilu 2014 terjadi penurunan tajam menjadi 19,9 persen dan turun tajam lagi menjadi 12,7 persen pada 2019. Membaca data elektabilitas partai berdasarkan hasil survei nasional di LSI, juga data dari lembaga lain sepanjang dua tahun terakhir, kita dapat menduga bahwa volatilitas elektoral tidak akan meningkat kalau tidak malah turun lagi.
Sejumlah indikasi menunjukkan bahwa sistem kepartaian Indonesia mengalami stabilisasi selama lebih dari dua dekade terakhir.
Indikasi kedua adalah terus menurunnya ketertarikan pemilih pada partai baru atau partai luar parlemen. Ketertarikan pemilih pada partai baru atau luar parlemen paling tinggi pada Pemilu 2004. Saat itu total dukungan pemilih adalah 21,3 persen, hanya sedikit di bawah pemenang pemilu waktu itu, yaitu Golkar (21,6 persen).
Setelah itu, dukungan pada partai baru terus menurun, yaitu 17,3 persen pada Pemilu 2009, lalu turun tajam lagi menjadi 6,7 persen pada 2014, dan tetap rendah atau stagnan pada Pemilu 2019 (7,2 persen).
Yang ketiga adalah stabilnya jumlah partai efektif di parlemen atau lembaga legislatif (effective number of political parties in parliament/ENPP) sebagai hasil dari setiap pemilu.
Konsep ENPP menunjukkan berapa sesungguhnya jumlah partai yang benar-benar berpengaruh dalam proses politik dan pengambilan keputusan di DPR. Menggunakan rumus Laakso and Taagepera (1979), cara menghitungnya adalah angka satu dibagi total pangkat dua dari persentase jumlah kursi setiap partai di legislatif.
Hasilnya, ENPP Indonesia adalah 7,08 (2004), 6,21 (2009), 8,16 (2014), dan 7,47 (2019). Jadi, ENPP stabil di kisaran enam hingga delapan partai. Kalau jumlah partai yang lolos ke DPR pada 2024 tak banyak berubah, ENPP ini kemungkinan akan tetap stabil.
Yang keempat adalah partai yang sudah lolos ke parlemen cenderung terus bertahan alias selalu mendapatkan kepercayaan/mandat dari masyarakat pemilih. Semua partai yang kini ada di DPR telah bertahan minimal selama sepuluh tahun atau dua periode.
Enam partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, PKB, PKS, PPP, dan PAN, bahkan telah bertahan di DPR selama lebih dari 20 tahun. Partai Gerindra telah bertahan selama lebih dari 10 tahun. Partai Demokrat bertahan selama lebih dari 15 tahun. Nasdem diperkirakan akan lolos lagi pada Pemilu 2024 sehingga dapat bertahan selama lebih dari 10 tahun.
Terus bertahannya partai di parlemen atau dalam sistem kepartaian menunjukkan bahwa telah terjadi hubungan yang cukup ajek antara partai tersebut dan konstituen atau pemilihnya. Karena itu, pola interaksi antarpartai pun menjadi lebih mudah untuk diperkirakan.