Site icon Informasi Berita Rujukan Masyarakat Lampung

Wakaf: Pilar Peradaban Islam yang Terbukti tapi Terlupakan

Wakaf: Pilar Peradaban Islam yang Terbukti tapi Terlupakan

Oleh: Farizal, SEI
Mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Islam SEBI Program Studi Kepatuhan Syariah dan Fiqh Muamalah
Pengurus Bidang Wakaf, Ekonomi dan Aset Dewan Da’wah Lampung

Saat ini, istilah wakaf kerap hanya terdengar saat penggalangan tanah makam, pembangunan masjid, atau sesekali untuk program wakaf Al-Qur’an. Padahal, jika kita membuka kembali halaman emas sejarah Islam, kita akan menemukan bahwa wakaf adalah jantung peradaban—menopang sistem pendidikan, kesehatan, infrastruktur sosial, bahkan diplomasi dan pertahanan umat.

Wakaf bukan hanya amal ibadah, ia adalah sistem sosial dan ekonomi jangka panjang yang diwariskan oleh generasi terdahulu untuk menjamin martabat umat secara mandiri dan berkelanjutan.

Wakaf: Strategi Sosial Berbasis Ibadah
Dr. Ahmad ar-Raisuni dalam bukunya Al-Waqf al-Islami menjelaskan bahwa wakaf pada masa kejayaan Islam menjadi sumber pendanaan utama (al-mumawwil ar-ra’is) bagi pembangunan masjid, pendidikan, layanan kesehatan, pembebasan budak, air bersih, hingga pertahanan militer.

Lebih dari sekadar sedekah, wakaf adalah sedekah dalam level ihsan—puncak dari pengabdian sosial dan spiritual. Ia adalah ibadah yang tak hanya menjalin hubungan vertikal dengan Allah, tapi juga horizontal: membangun kesejahteraan bersama.

Ibnu Batutah: 30 Tahun Menjelajah Dunia Islam Berkat Wakaf
Satu dari sekian kisah heroik yang membuktikan peran wakaf secara konkret datang dari Ibnu Batutah, seorang pengelana asal Tangier, Maroko, yang memulai perjalanannya pada usia 22 tahun.

Bayangkan, di abad ke-14 M, Ibnu Batutah menjelajahi dunia Islam—dari Maroko hingga Tiongkok—selama lebih dari 30 tahun, menempuh sekitar 80.000 kilometer. Lantas, bagaimana ia mampu melakukannya tanpa sponsor kerajaan atau anggaran negara. Jawabannya mencengangkan: karena infrastruktur sosial berbasis wakaf.

Sepanjang wilayah Islam yang ia lintasi, dari Mesir hingga India, dari Anatolia hingga Nusantara, Ibnu Batutah menemukan fasilitas publik berbasis wakaf: penginapan gratis, dapur umum, tempat mandi, pusat kesehatan, hingga layanan makanan untuk musafir. Ia tidak membawa banyak harta, tapi tidak pernah kekurangan selama perjalanannya.

Yang menarik, meskipun wilayah yang ia lewati dipimpin oleh berbagai kerajaan yang berbeda-beda (karena khilafah telah runtuh), budaya wakaf dan pelayanan sosial tetap seragam dan terjaga. Ini membuktikan bahwa ketahanan umat Islam tidak semata bergantung pada kekuatan politik, tetapi pada kekuatan sosial yang dibangun oleh wakaf.

Ibnu Batutah tidak hanya mencatat geografi dunia Islam, tapi juga mengonfirmasi fungsi nyata wakaf sebagai jaringan sosial yang hidup dan melindungi siapa pun yang berstatus sebagai tamu Allah.

Universitas al-Qarawiyyin: Lembaga Wakaf yang Mendidik Dunia
Jika Ibnu Batutah adalah contoh penerima manfaat wakaf dalam perjalanannya, maka Fatimah al-Fihri adalah contoh pewakaf yang meletakkan fondasi peradaban. Pada tahun 859 M, Fatimah—seorang perempuan Muslimah di Fes, Maroko—membangun masjid dan madrasah dari harta warisan keluarganya, lalu mewakafkannya. Wakaf ini berkembang menjadi Universitas al-Qarawiyyin, lembaga pendidikan tinggi tertua di dunia yang masih beroperasi hingga hari ini.

Dari hasil kebun zaitun dan pertokoan yang ia wakafkan, operasional masjid dan pendidikan ditanggung tanpa pungutan biaya. Para ulama besar seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Arabi, Ibnu Ajurrum, Ibnu Banna, dan bahkan Paus Sylvester II dari Eropa, pernah menimba ilmu di sana.

Lebih dari itu, pada masa-masa krisis, negara bahkan meminjam dana dari kas wakaf universitas ini. Dana wakafnya juga mengalir untuk membantu Masjidil Aqsha dan dua Masjid Suci di Makkah dan Madinah.

Inovasi Wakaf: Dari Perabot Pecah hingga Liburan Kaum Dhuafa
Wakaf dalam sejarah Islam tidak berhenti di pendidikan dan masjid. Ia hadir dalam bentuk-bentuk yang sangat kreatif dan menyentuh sisi terdalam kemanusiaan:
Wakaf Perkawinan Tunanetra: membantu pasangan difabel menikah dan menyediakan penginapan bulan madu gratis.
Wakaf Roti Harian di Lebanon: siapa pun yang lapar bisa mengambil roti tanpa prosedur.
Wakaf Susu untuk Ibu dan Anak di Damaskus: hasil peninggalan Shalahuddin al-Ayyubi.
Wakaf Perabot Pecah: jika pelayan atau anak kecil memecahkan barang, bisa diganti tanpa dimarahi—menjaga psikologi dan nilai kasih sayang.
Wakaf Vila Liburan: Nuruddin Zanki membangun vila di kawasan elit Damaskus agar kaum dhuafa bisa merasakan liburan setara orang kaya.
Wakaf Konsultasi Keluarga: di Marrakech, terdapat rumah wakaf yang menampung perempuan korban kekerasan rumah tangga.
Wakaf untuk Menghibur Pasien, Wakaf Musik Terapi, hingga Wakaf Bibit dan Buah Pohon untuk Musafir.
Bahkan ada wakaf khusus untuk membantu ahli kitab (non-Muslim) miskin. Ini membuktikan bahwa wakaf adalah salah satu bentuk rahmatan lil ‘alamin dalam bentuk nyata.

Pelajaran Besar: Wakaf Bukan Sekadar Aset, Tapi Sistem
Sayangnya, hari ini banyak wakaf hanya dimaknai sebagai aset fisik—tanah atau bangunan. Namun tanpa perencanaan dana operasional, sekolah wakaf tetap mahal, masjid tetap bergantung pada kotak infak. Padahal, wakaf sejati adalah sistem. Setiap proyek wakaf selalu disertai dengan sumber pendanaan yang mandiri, baik dari kebun, pasar, atau properti sewaan. Sudah saatnya umat Islam kembali memahami dan membangun wakaf sebagai strategi peradaban, bukan sekadar proyek amal jangka pendek.

Menghidupkan Mesin Peradaban Itu Kembali
Fatimah al-Fihri dan Ibnu Batutah adalah dua figur dari sisi yang berbeda: satu sebagai pemberi, satu sebagai penerima. Tapi keduanya terhubung oleh satu kata: wakaf. Jika Ibnu Batutah bisa menjelajahi dunia tanpa kehabisan bekal, dan Fatimah bisa mendirikan universitas yang melayani dunia hingga hari ini, maka kita juga bisa memulai kembali peradaban itu—asal tahu dari mana harus memulai. Dan jawabannya, kembali: wakaf.

Exit mobile version