Nikmat kemerdekaan adalah anugerah istimewa bagi Bangsa Indonesia. Dulu sebelum merdeka kondisi terjajah rakyat hanya dipakai oleh Penjajah dan anteknya bekerja untuk mereka, Tanah, Air, dan semua kekayaan alam diteguk secara rakus bagaikan mereka meneguk madu-susu-khomer.
Para pendiri Bangsa Indonedia sangat menyadari akan pentingnya negara untuk kebebasan, kebahagiaan, kesejahteraan, keselamatan dan keadilan seluruh bangsa, oleh karena itu ditulislah tujuan kemerdekaan, tujuan berbagsa, dan fungsi pemerintah dengan tegas dan jelas dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, UUD 1945 yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Jika mencermati dan memahami serta menghayati tujuan bernegara tersebut tentunya personal-personal Warga Negara Indonesia yang mendapatkan amanah untuk mengurus negara terutama Presiden dan seluruh personal yg ada di eksekutif dari pusat sampai daerah, Para Anggota MPR, Para Angota DPD, Para Anggota DPR dan DPRD, Para Hakim dan aparat negara lainnya Memiliki visi yang sama dan program yang sama yang disepakati. Oleh karena itu maka UUD 1945 (sebelum diubah) memberikan amanah kepada MPR untuk menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kini Haluan Negara tidak lagi ada maka menjadi nihil-lah visi-program bernegara hasil kesepakatan seluruh warga negara, yang diaktualisasikan oleh MPR dalam GBHN, kini Visi-Program bernegara tereduksi menjadi visi-misi Presiden pemenang Pemilu. Bahkan bisa saja program “selundupan” para cukong yang membiayai pemenangan pemilihan presiden.
Akibatnya sungguh berat bagi bangsa Indonesia, terlalu banyak sumberdaya yang mubazir, terlalu banyak proyek-proyek pembangunan hanya berorientasi “hanya membangun” tanpa menghitung manfaat dan fungsinya. Sebut saja; hambalang, IKN, berbagai pelabuhan dan bandara. Begitupun proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; terminal, pasar, berbagai gedung, dan program-lainnya yg hanya dimanfaatkan untuk “keberlangsungan dinasti” para Bupati, Walikota dan Gubernur.
Sungguh prihatin, ditengah hutang negara yg mencekik, begitu banyak mentri yang menuntut tambahan anggaran, bahkan pula DPR RI menuntut kenaikan tunjangan, para ASN selalu mengeluh gaji yang tak naik namun beban kerja meningkat.
Kondisi tersebut memicu “stres” Mentri keuangan dan Semua pejabat yang berhubungan dengan pengelolaan anggaran, hal ini memicu “pendek akal” bekerja ambil mudahnya saja dengan menaikkan Pajak, PNBP dan retribusi yang itu semua menjadikan rakyat “tercekik” kehidupannya semakin sulit, dan tentu saja memicu “stres” dan kemarahan rakyat, dan menyebabkan demo/protes. Sampai menuntut Bupati mundur, bahkan menuntut DPR RI dibubarkan!
Lebih menyedihkan pula ditengah Semangat EFISIENSI oleh Presiden Prabowo, Presiden sendiri membuat Kabinet “GEMOY” kini 48 mentri dengan 55 wakil mentri. Sungguh ironis. Begitupula dengan pelaksanaan Program Makan Bergisi Gratis, sudah menyedot anggaran besar, namun kurang berdampak dalam peningkatan kesejahteraan rakyat kecil, karena pelaksana akhirnya bukan para pedagang kantin di sekolah, melainkan para orang “kaya” yang punya akses kepada kekuasaan.
Bagaimana kita keluar dari jebakan yang kita buat sendiri ini?