Sang Pipit Membuatku Malu

0
7

Kobaran Api dan Burung Kecil
Di tengah kobaran api yang membelah langit, asap membubung tinggi, memekakkan langit dan bumi. Api itu bukan sembarang api. Ia adalah simbol murka manusia kepada kebenaran, kobaran dendam terhadap tauhid. Api yang dinyalakan oleh kaum Namrud, demi satu hal: membakar seorang lelaki bernama Ibrahim, karena ia berkata, “Tuhanku adalah Allah.”
Di sekitar api, manusia hanya berdiri. Tak ada yang berani mendekat. Bahkan hewan-hewan pun hanya menatap dengan mata kosong. Angin pun seolah tak sanggup menembus panasnya.
Tapi di tengah kepasrahan dunia, seekor burung pipit kecil terbang. Paruh mungilnya membawa setetes air dari sungai. Ia melesat menuju api yang membakar sang Nabi. Lalu menjatuhkan airnya. Lalu terbang kembali. Lalu menjatuhkan lagi. Dan lagi. Dan lagi.
قَلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Kami berfirman: ‘Hai api, jadilah kamu dingin dan keselamatan bagi Ibrahim!'” (QS. Al-Anbiya: 69)

Baca Juga  Berlarilah Dari Jerat Dunia, Sekuat Tenaga!

Ejekan dan Keyakinan
Makhluk-makhluk lain menatap aneh. Seekor gajah mencibir. Seekor unta menengadah malas. Bahkan seekor cicak menyeringai sinis dari sela-sela dinding.
“Apa gunanya, Pit?” kata mereka.
“Airmu itu cuma setetes. Bahkan tidak bisa memadamkan sehelai ranting yang terbakar, apalagi api sebesar ini!”
Tapi si pipit tak berhenti. Dan saat akhirnya ia menjawab, suaranya kecil… tapi menembus ke dalam hati.
“Aku tahu… airku tidak akan memadamkan api itu. Tapi Allah akan tahu di pihak siapa aku berdiri. Aku tidak bisa banyak, tapi aku tidak akan diam.”

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Baca Juga  Antara Childfree, Fitrah dan Tuntunan Allah.

Aku yang Terlalu Diam
Aku malu… karena terlalu sering merasa kecil, lalu memilih diam.
Sering kali aku melihat kezaliman — di lingkungan, di media, di kehidupan sosial — tapi aku hanya menjadi penonton.
Aku tahu yang benar. Aku tahu yang salah. Tapi aku bilang dalam hati:
“Ah, bukan urusanku.”
“Gue siapa sih?”
“Yang penting gue gak ikut-ikutan.”
Dan diam-diam, aku mulai merasa tenang dengan keheningan.
Padahal, keheningan itu bisa jadi… adalah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap kebenaran.

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا الْسَيِّئَةُ ادْفَعْ بِالٜلٔتِي هيَ أَحْسَنُ
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik…” (QS. Fussilat: 34)