Quo Vadis Pejabat Publik: Mengembalikan Ruh Pelayanan dalam Kekuasaan

0
7

Semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin kecil ruang privatnya; semakin besar pula tanggung jawab publik yang harus dipikul. Sayangnya, realitas kita menunjukkan arah sebaliknya. Kekuasaan sering dijadikan tameng untuk memperluas ruang privat dan memonopoli sumber daya publik. Akibatnya, muncul jurang moral yang semakin lebar antara pejabat dan rakyat. Al-Qur’an mengingatkan kita melalui Surah Ali Imran ayat 152 bahwa di antara mereka yang diberi kekuasaan, ada yang menghendaki dunia dan ada yang menghendaki akhirat.

Kekuasaan bukanlah anugerah yang bebas risiko; ia adalah ujian yang menguji integritas dan ketulusan niat. Dalam konteks inilah, pejabat publik diuji: apakah kekuasaan akan ia gunakan untuk memperkaya diri, atau untuk menegakkan keadilan? Apakah jabatan akan menjadi jalan menuju kemuliaan, atau menjadi sebab kehinaan moral? Kemenangan politik bukan ukuran keberhasilan seorang pemimpin.

Baca Juga  Nelayan Pantai Nelayan Sukaraja, Bandar Lampung Minta Tumpukan Sampah Tetap Ada

Ukuran yang sesungguhnya terletak pada sejauh mana kekuasaan itu digunakan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Refleksi: Ke mana arah pejabat publik kita? Pertanyaan mendasar yang kini perlu diajukan oleh setiap pejabat publik adalah: Quo vadis? Ke mana arah kekuasaan ini akan dibawa? Apakah ia akan terus menjadi sarana memperkaya diri dan kelompoknya, atau justru dijadikan instrumen untuk memperluas kemaslahatan rakyat? Negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang yang mau “menderita” demi rakyat.

Di tengah polarisasi sosial yang kian tajam, pejabat publik dituntut untuk menghadirkan teladan moral. Mereka harus menjadi jembatan yang menghubungkan rakyat dengan negara, bukan tembok yang memisahkan keduanya.