Quo Vadis Pejabat Publik: Mengembalikan Ruh Pelayanan dalam Kekuasaan

0
7

Sementara dalam tradisi Islam dikenal prinsip “Sayyidul qawm khadimuhum” — pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. Ungkapan ini bukan hadis yang sahih, tetapi merupakan falsafah kepemimpinan yang hidup dalam tradisi Islam sejak masa awal, bahkan sebagian ulama menisbatkannya kepada Umar bin Khattab. Kedua pandangan ini menegaskan satu hal: pemimpin sejati adalah mereka yang bersedia menderita demi kesejahteraan orang lain. Jabatan publik bukanlah kehormatan yang patut disombongkan, melainkan tanggung jawab moral yang menuntut pengorbanan.

“Menderita” di sini bukan berarti hidup sengsara secara fisik, melainkan kesediaan untuk menyusahkan diri demi memudahkan orang lain.

Pemimpin yang benar akan mendahulukan kepentingan publik di atas kepentingan pribadinya. Ia tidak mencari kenyamanan dalam jabatan, melainkan menjadikan jabatan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan, di dunia maupun di hadapan Tuhan. Pejabat publik yang ideal bukan hanya profesional dalam bekerja, tetapi juga memiliki kesalehan moral. Seorang pejabat publik harus siap mencurahkan tenaga, pikiran, waktu, bahkan hartanya untuk kepentingan masyarakat.

Baca Juga  BEM SI Pastikan Tidak Gelar Demo di Jakarta Hari Ini

Ia harus qanaah — merasa cukup dengan apa yang diperoleh secara sah dan resmi, serta menjauhkan diri dari kerakusan terhadap harta dan fasilitas negara. Prinsip hidupnya sederhana: hidup fungsional, bukan seremonial; melayani, bukan dilayani. Kepuasan seorang pejabat publik tidak boleh diukur dari akumulasi kekayaan, fasilitas, atau status sosial yang melekat padanya, melainkan dari sejauh mana ia mampu menghadirkan perubahan positif bagi rakyat.