Hadits ini sering disalahpahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa yang utama adalah memperindah suara. Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, maksud yataghanna bukan sekadar melagukan, tetapi membaca dengan suara yang baik disertai penghayatan, dan tetap menjaga hukum tajwid.
Al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir berkata :
محمد عليه الصلاة والسلام لم يأذن الله لشيء ما أذن له أن يتغنّى بالقرآن، وأما القراءة بالألحان الموضوعة للأغاني، فإذا أخرجت الألفاظ عن مخارجها، فهذا محظور. وأما تحسين الصوت فمباح.
“Rasulullah ﷺ diberi izin Allah untuk memperindah membaca Al-Qur’an, adapun membaca dengan lagu yang menyerupai musik apabila itu mengubah huruf dari makhrajnya maka itu dilarang. Sedangkan memperbagus suara (tanpa mengubah hukum bacaan) adalah diperbolehkan.”
Ibnul Jazari dalam Muqaddimah al-Jazariyyah berkata :
وَالْأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لَازِمُ، مَنْ لَمْ يُصَحِّحِ الْقُرْآنَ آثِمُ
“Mempelajari dan menerapkan tajwid itu hukumnya wajib. Barang siapa membaca Al-Qur’an tanpa membenarkan (tajwidnya), maka ia berdosa.” (Muqaddimah al-Jazariyyah, bait ke-27)