Jakarta – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, baru-baru ini dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan tentang masa depan Anwar Usman dan dampaknya terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Anwar Usman: Dari Ketua MK Menjadi Hakim Konstitusi
Anwar Usman adalah nama yang tak asing lagi di dunia hukum Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Ketua MK, namun dengan keputusan akhir, ia tidak lagi menjabat sebagai ketua. Namun, ia masih berstatus sebagai hakim konstitusi.
Pelanggaran Kode Etik
Amar putusan dalam kasus Anwar Usman menunjukkan bahwa ia terbukti melanggar Prinsip Ketakberpihakan karena tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan putusan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden. Ini adalah pelanggaran serius dalam konteks etika dan integritas.
Intervensi Pihak Luar
Selain pelanggaran terkait ketidakberpihakan, Anwar Usman juga terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan putusan. Hal ini menciptakan keraguan dalam proses pengambilan keputusan hukum.
Konsekuensi
Sebagai konsekuensi dari pelanggaran kode etik yang terbukti, Anwar Usman dilarang mencalonkan diri atau dicalonkan kembali sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir. Keputusan ini bertujuan untuk memastikan integritas lembaga peradilan.
Pembatasan Terhadap Keterlibatan di Pemilu
Anwar Usman juga tidak diperkenankan untuk terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilu 2024, termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Dissenting Opinion
Terdapat satu dissenting opinion dari Anggota Majelis Kehormatan, Bintan R. Saragih, yang berpendapat bahwa Anwar Usman layak diberhentikan tidak dengan hormat. Ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan di dalam lembaga tersebut.