OPINI :
Detti Febrina
Ceritanya, Sabtu (29/7) saya diminta mengisi workshop untuk perempuan public figure di Kota Metro. Tema yang dirikues seputar branding dan public speaking.
Tersebab akun instagram Wagub sekaligus Ketua DPW PKB Lampung Chusnunia (@mbak_nunik) adalah subjek menarik soal branding politik perempuan – dan jadi subjek tesis saya – sedianya bio akun itu ingin dimasukkan sebagai salah satu contoh di slide presentasi.
Searching berkali-kali: chusnunia, mbak_nunik, wakil gubernur lampung, noenia (nama akunnya sebelum berganti nama), #bolonembaknunik, ketua pkb lampung, dan semua kata kunci yang merujuk padanya, eh eh, kok ga ketemu?
Cek akun adik-adiknya @jihanchalim dan @sasa.chalimns, juga sang suami @erry.ayudhiansyah masih ada. Akun Jihan dan Sasa diprivat. Akun Erry 0 posting.
Menariknya, kurang lebih sebulan lalu ngecek akun @mbak_nunik, juga untuk kepentingan pelatihan, akun itu masih ada. Hanya stuck di postingan terakhir bulan Februari atau April, gitu. Saya lupa.
Tanya ke teman-teman yang juga “pemerhati”, mereka bilang iya sudah lama ga liat @mbak_nunik update post instagram. Dan banyak yang baru ngeh juga bahwa akun itu ngilang.
Di wawancara riset saya di awal pandemi, Mbak Nunik bilang instagramnya hanya untuk main-main, namun ia mengakui punya tim khusus, terdiri dari fotografer, videografer, dan editor. Tim ini diambil dari kampung halamannya di Lampung Timur, sejak ia masih Bupati di sana. Satu-satu, mereka juga saya wawancara. Termasuk beberapa admin yang mengelola akun-akun medsosnya sejak pemenangan bupati Lamtim hingga pilkada cawagub.
Masa itu ia hanya concern di Facebook dan Instagram (belum era TikTok). Twitter ga terurus karena lupa password dan publik Lampung menurutnya ga pas dengan tujuan kampanye di Twitter (btw Twitter memang bukan sarana kampanye yang sedemikian yagesya, -penulis). Youtube dianggap terlalu banyak butuh sumber daya. Facebook kemudian ia tinggalkan karena banyak yang “nyampah” dan akhirnya ia hanya main medsos di instagram saja.
Mbak Nunik juga mengakui dia rajin memantau insight instagram, semacam statistik posting mana yang lebih disukai, mana yang garing, viewersnya usia berapa, dari mana saja, berapa proporsi viewers perempuan dibanding laki-laki, dan seterusnya.
Mampu membaca karakter segmen instagram, Mbak Nunik tak pernah posting yang terlalu serius. Jikapun momentumnya serius, ia tetap pastikan konten yang mengundang engagement dan ga krik krik. Misal acara formal membahas stunting, yang ia posting foto diri tersenyum lebar dengan caption: buat para jomblo, perhatikan gizi, ya, supaya ga stunting badan, juga hati.
Lebih lanjut, akun instagram itu bahkan dichannelkan untuk jadi jembatan komunikasi aduan-aduan masyarakat soal kondisi Lampung, lengkap dengan nomor hotline service.
Jadi walau katanya hanya main-main, tapi yang jeli akan mengaminkan bahwa di balik main-mainnya, instagram sejatinya ia seriusi sebagai sarana branding. Salah satu tokoh pers Lampung kala itu pernah bilang, “Jika pilkada Gubernur dilakukan hari ini, Nunik menang.”
Sebelumnya Mbak Nunik bertahan diterpa berbagai isu sejak masih anggota DPR RI dan Bupati Lamtim. Opponent-nya ketika itu lumayan galak, pake aksi demo segala. Semua medsosnya diserbu. Tapi ia bertahan. Begitu isu pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan jalan rusak yang disuarakan putra daerahnya berembus, ia berhenti posting. Bahkan tutup akun. Duh.
***
Media sosial dan perempuan public figure adalah dua kombo menarik karena tantangan dan nuansa baru yang dimunculkannya.
Makin banyak perempuan public figure yang naik di kancah politik dan pemerintahan, bertemu dengan ingar-bingar era medsos yang makin setiktok itu. Klop. Apalagi di tahun politik seperti sekarang.
Perempuan masih menghadapi stigma dan penyulit khas perempuan yang membuatnya butuh sebanyak mungkin support system. Di sisi lain media sosial adalah sarana kampanye dan branding termurah. Bagi yang telat menyadari itu, ya silakan berkutat di kampanye tradisional saja.
Ga banyak perempuan public figure, khususnya di politik pemerintahan, yang bisa dijadikan contoh sukses nelateni media sosial. Jadi, iya, saya termasuk yang menyesalkan mengapa Mbak Nunik harus tutup akun. Banyak politisi yang tersandung kasus, ditahan, begitu keluar penjara sudah nyengir lebar dan nongol di acara talkshow. Angelina Sondakh rada beda karena muncul pasca bebas dari bui lebih banyak nangisnya. Perempuan banget.
Walau pada akhirnya dimafhumi, apalagi Mbak Nunik sedang mengandung anak kedua. Netizen Indonesia yang terkenal kejam dan “serangannya” bisa jadi pisau bermata dua. Bisa lebih ampuh dari otoritas aparat, namun juga bisa terjebak jargon-jargon ala #SaveAudrey lalu menghinakan orang yang salah.
Tabik.
*Detti Febrina, pegiat Komunitas Internet Cerdas dan Media Ramah Remaja @a.na.gata. Tinggal di Bandar Lampung