tirto.id – Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan Payment ID pada 17 Agustus 2025 mendatang. Sistem transaksi elektronik yang akan terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Digital ID ini digadang-gadang akan memutakhirkan tata kelola pembayaran digital dan mendorong optimalisasi penerimaan pajak di Indonesia.
Sebabnya jelas: seluruh seluruh transaksi warga secara real-time akan terekam dan terpantau oleh otoritas moneter dan pajak. Payment ID akan menjadi nomor identitas tunggal dalam seluruh transaksi keuangan digital mulai dari rekening bank, dompet digital, pinjaman online, hingga urusan belasting.
Di media sosial, terutama platform X, wacana ini memantik perbincangan. Banyak warganet yang menilai upaya memata-matai transaksi warga ini dapat membuat kantong mereka menjadi lebih cekak karena potongan pajak. Dalam postingan akun @GNFI, misalnya, kolom balasan dipenuhi dengan ekspresi heran atas kebijakan tersebut.
“Sebenarnya gw bingung dr kmrn ini sistemnya gimana? Misal anak kuliah blm kerja, dia di tf bapaknya tiap bln 5jt (ofc di atas ptkp) ini bakal dikenain pajak sbg income? Meanwhile itu uang pasti udh dipotong pajak juga krna pasti gaji bapaknya kan? bakal jdi double taxation?” demikian bunyi salah satu komentar balasan pada postingan @GNFI soal Payment ID pada Senin (4/8/2025).
Jika netizen berkenyit tentang Payment ID, lain halnya dengan Wahyudi. Pekerja di sektor swasta, menyambut positif integrasi ini. Menurutnya inisiatif yang dilakukan pemerintah ini sebagai upaya untuk mengamankan penerimaan pajak. “Bagus, semua transaksi terdata. Pajak tidak ada yang lolos,” katanya saat berbincang dengan Tirto, Selasa (5/8/2025).
“Yang jadi pertanyaan saat implementasi, apakah mulus atau enggak. Kaya coretax aja gagal dijalankan, kan? Padahal persiapannya lumayan lama dan pakai dana gede,” tambahnya.
Belum lagi masalah keamanan data pribadi dan perlindungan konsumen. Masalahnya, Payment ID mengintegrasikan seluruh transaksi keuangan warga. Menurutnya, jika tidak dijaga dengan cyber security yang optimal, bisa saja warga kehilangan uangnya. “Pemerintah perlu meningkatkan pengamanan data. Apalagi ini terkait keuangan, agar tidak terjadi masalah di kemudian hari,” tuturnya.
Meski demikian, bagi BI sendiri, Payment ID bukanlah ditujukan untuk mengerek penerimaan pajak, melainkan bagian dari upaya memperkuat integrasi ekonomi-keuangan digital, efisiensi sistem pembayaran hingga menghubungkan fintech dan perbankan untuk mencegah risiko shadow banking.
Selain itu, dengan Payment ID ini, Pemerintah akan dapat mengetahui profil keuangan setiap warga negara, termasuk jumlah harta, utang, dan investasinya. Salah satu manfaat dari adanya profil keuangan tiap individu masyarakat ini adalah dapat mengukur atau melihat target utama penerima bantuan sosial.
Sementara bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Payment ID akan jadi salah satu program yang akan mendukung sistem pemerintahan berbasis elektronik, dan memudahkan kementerian/lembaga negara untuk bertukar data bagi kepentingannya masing-masing.
Di Kementerian Keuangan sendiri upaya optimalisasi pajak dengan cara deteksi uang keluar-masuk ke kantong warga sudah dimulai sejak Juli 2022, dengan menginisiasi pemadanan NIK dengan NPWP.
Selain itu, DJP juga menggandeng Direktorat Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri) terkait penggunaan NIK untuk mendukung layanan hingga pengawasan pajak. Permintaan akses data penduduk ini juga menjadi dukungan DJP kepada proyek Digital ID yang dikembangkan Kemendagri.
“Dengan adanya digital ID, nanti tentu informasi yang terkait dengan variabel-variabel individu yang bersangkutan, penduduk ini gitu, itu akan bisa semakin kaya. Jadi, semakin bisa mengandung informasi-informasi yang dibutuhkan dalam kerangka optimalisasi penerimaan pajak,”ujar Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto dalam media briefing di Kantor DJP, Kamis (31/7/2025) malam.
“Jadi kita sudah tidak bisa silo-silo (pengkotakan informasi, sumber daya, dan proses antar departemen atau tim dalam suatu organisasi) lagi teman-teman, kita dengan semua Kementerian dan Lembaga sebenarnya interoperability (saling bertukar data),” sambungnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai penggunaan Digital ID dan Payment ID akan efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak. Pasalnya, sistem tersebut bisa menangkap transaksi masyarakat dalam bentuk apapun, baik melalui perbankan hingga QRIS.
Namun demikian, ia menilai ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian pemerintah. Soal Digital ID, Yusuf menilai rangkap data hingga data yang masih belum dimutakhirkan Kemendagri bisa menjadi hambatan.
“Kalau kita bicara masalah kesiapan dari teknologi di DJP itu sendiri, misalnya kan kemarin DJP sudah punya sistem Coretax. Coretax itu sebenarnya sistemnya, idealnya, disiapkan secara komprehensif. Jadi dia bisa menyimpan data-data wajib pajak dan juga data transaksi yang dilaporkan. Kalau kita perhatikan, Coretax itu sendiri itu kan bermasalah. Artinya, dia tidak dipersiapkan secara matang,” ujar Yusuf saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).
Yusuf khawatir, jika Digital ID dan Payment ID tak disiapkan secara matang untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, kebocoran data akan sulit diantisipasi. Padahal, yang tersimpan di sistem Digital ID maupun Payment ID adalah data strategis masyarakat yang sangat penting untuk dilindungi negara.
“Ini yang juga perlu kita sampaikan, kita kritisi bahwa ketika sistem ini nanti dibangun dan juga menggunakan data dari masyarakat secara luas, itu harus dipastikan kalau sistem keamanan itu beroperasi dengan baik, beroperasi penuh, jangan sampai kemudian sistem keamanan itu dibobol dan akhirnya ya lagi-lagi yang dirugikan masyarakat,” tegas Yusuf.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai penggunaan Digital ID dan Payment ID justru mengancam privasi masyarakat. Sehingga, kurang pas bagi pemerintah untuk mendorong penerimaan pajak dengan mengintip semua transaksi masyarakat.
“Seharusnya kan fokus saja pada rekening atau e-wallet dari penjual di ecommerce, jangan si pembeli ikut di intip juga data digitalnya. Toh, selama ini integrasi antara rekening bank dengan data perpajakan sudah berjalan. Kalau sampai pembeli barang e-commerce ikut diintip data-nya, saya kira kebijakan ini akan menurunkan trust (masyarakat) pada ekosistem digital,” jelasnya, kepada Tirto.
Alih-alih menggunakan Digital ID atau Payment ID, akan lebih baik jika pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak dengan mendasarkannya pada data-data perpajakan yang sudah tersedia. Kata Bhima, sudah dilakukannya pengampunan pajak alias tax amnesty jilid I dan II serta telah diratifikasinya Automatic Exchange of Information (AEoI) membuat DJP tak akan kekurangan data basis wajib pajak.
Sayangnya, basis data tersebut tak juga dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengejar kewajiban para wajib pajak. “Pasca tax amnesty, seolah harus cari data baru lagi, sementara rasio pajaknya terus menurun. Berarti ada masalah bukan soal data, tapi penyidikan hingga penagihan pajaknya,” kata Bhima.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra