Luka yang Menjalar, Kata yang Membakar

0
70

Sejarah dunia memberikan pelajaran penting. Arab Spring, yang dimulai dari aksi seorang penjual buah bernama Mohamed Bouazizi di Tunisia, hanyalah percikan kecil: seorang pedagang merasa dipermalukan aparat. Namun, dari satu tubuh yang terbakar, api revolusi menjalar ke Mesir, Libya, Suriah, hingga mengguncang seluruh kawasan. Di Amerika Serikat, kasus George Floyd memantik gerakan Black Lives Matter yang mengguncang dunia.

Bedanya, aparat di sana belajar—meski tidak sempurna. Beberapa kepala kepolisian dan wali kota mengambil langkah simbolik: duduk bersimpuh, kaki kanan di depan, kaki kiri menekuk ke belakang, tanda penyesalan di hadapan publik. Itu bukan sekadar gestur seremonial, melainkan komunikasi empati yang mencoba menyentuh hati publik.

Baca Juga  Mantan Narapidana Korupsi Mencalonkan Diri sebagai Calon Anggota Legislatif dalam Pemilu 2024

Indonesia bisa belajar. Empati penting, tetapi harus diikuti transparansi dan keadilan substantif. Jika tidak, maka permintaan maaf hanya akan dianggap retorika kosong. Dalam ilmu PR politik, ada tiga dimensi penting saat krisis: kecepatan, empati, dan kredibilitas. Publik menilai negara dari seberapa cepat ia merespons.

Keterlambatan menciptakan ruang kosong yang segera diisi rumor, hoaks, dan spekulasi. Kata-kata resmi pemerintah pun tidak cukup, dibutuhkan bahasa yang menyentuh. Namun, seperti kasus Affan, empati simbolik saja tidak lagi memadai. Publik ingin bukti konkret. Dan kredibilitas hanya lahir dari konsistensi kata dan tindakan. Permintaan maaf tanpa proses hukum yang transparan hanya mempercepat hilangnya legitimasi.

Jalan keluar: Lebih dari simbol