Luka yang Menjalar, Kata yang Membakar

0
16

KETIKA kata-kata meluncur tanpa kendali, ia dapat menjelma bara. Pernyataan Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, dan perilaku sejumlah pejabat publik lain barangkali dimaksudkan sekadar komentar spontan. Namun, di ruang publik yang tegang dan rapuh, kata yang tampak sederhana bisa menjadi pemicu letupan.

Tidak ada yang menyangka ucapan mereka berujung pada malapetaka: amuk massa yang menjalar cepat, tak ubahnya api yang merambat di padang daun kering. Di sisi lain, respons negara pasca-tragedi Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang meregang nyawa oleh mobil Polisi, justru menambah bara. Kepolisian memang bergerak—permintaan maaf publik dilontarkan, pejabat mengunjungi keluarga korban—tetapi langkah itu tidak mampu meredakan emosi publik.

Baca Juga  Abdul Hakim Silaturahmi dengan Tokoh Masyarakat Kecamatan Ketapang

Ada jarak antara gesture simbolik dengan substansi keadilan. Publik melihat simpati itu sebatas basa-basi, sementara yang mereka tunggu adalah kejelasan: siapa yang salah, bagaimana proses hukum berjalan, dan apa jaminan tragedi serupa tidak terulang. Komunikasi politik tidak pernah steril dari risiko.

Dalam teori political public relations, kata dapat menjadi alat mengikat legitimasi, tetapi juga bisa menjadi senjata makan tuan. Ketika figur publik bicara tanpa kendali narasi, ia berpotensi menyinggung, memicu, bahkan mengundang kemarahan kolektif. Tragedi Affan Kurniawan memperlihatkan bagaimana opini publik bekerja. Tragedi personal mendadak menjadi isu kolektif. Dari satu nyawa yang hilang, muncul gelombang solidaritas yang membesar, lalu berubah menjadi tekanan politik. Satu nyawa bisa menjadi percikan; publik ibarat hutan kering, mudah terbakar oleh amarah.

Baca Juga  BMKG: Waspada Hujan Lebat dan Potensi Banjir di Lampung serta Wilayah Lainnya

Pelajaran dari “Arab Spring” dan “Black Lives Matter”