Sungguh menyedihkan kondosi ini, sebagai bangsa yang akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya terjadi pristiwa tragis. Ya pristiwa seolah-olah masih dalam suasana rakyat terjajah, bagaikan gerakan Samin melawan arogansi Penjajah Kolonial Belanda.
Tentu pristiwa tersebut hendaklah menjadi pelajaran/intropeksi bagi kita semua selaku rakyat Indonesia, terlebih lagi bagi orang yang mendapatkan amanah kekuasaan. Bahwa sejatinya kekuasaan atau kepimimpinan adalah Pelayan Rakyat. Memimpin rakyat untuk mencapai tujuan hidup bernegara; melindungi, mencerdaskan, memajukan, mensejahterakan, mewujudkan perdamaian dan keadilan.
Mengapa bisa terjadi kerakusan dan kepongahan seorang Pejabat? Sesungguhnya rakus dan pongah tidak hanya ada pada pejabat, rakus dan pongah sesungguhnya adalah bagian dari “jiwa yang buruk” sesuai dengan penciptaan Alloh. Difirmankan-Nya dalam Alqur’an Surat (91) As-Syam ayat 8 “lalu Dia (Alloh) mengilhamkan kepadanya (manusia) jalan kejahatan dan ketaqwaan”. Secara azali memang manusia telah Alloh tanamkan potensi jahat (rakus, angkuh, ddl), namun potensi ini tentunya tak akan berkembang pesat jika tidak menemukan midiumnya, atau komunitasnya. Terlebih lagi bagi seseorang yang tekun beribadah dan ingat akan akherat.
Namun pada kondisi Indonesia saat ini, terutama 10 tahun terakhir ini, masa rezim Joko Widodo bersama partai-pendukungnya, situasi dan kondisi bangsa Indonesia menjadi “medium yang tepat” untuk tumbuh suburnya sifat-sifat buruk manusia Indonesia. Orang-orang yang arogan, rakus, dan kurang rasa malu-nya mendapatkan kesempan yang baik untuk menjadi Pejabat di berbagai level. Bahkan Bapak Presiden Joko Widodo sendiri dituduh orang ijazahnya palsu. Dan parahnya lagi, mencalonkan anaknya Gibran menjadi wakil presiden, dengan MK merubah Undang-undang mengenai syarat umur pencalonan Presiden-Wakil Presiden. Bahkan menurut salah satu ahli hukum tatanegara Indonesia Feri Amsari, putusan MK yang mengabulkan Gibran memenuhi syarat tak pernah disidangkan di MK, beliau menegaskan sanggup bertanggungjawab dunia akherat terhadap hal tersebut.
Sungguh menyedihkan 80 tahun Indonesia merdeka, sepertinya belum beranjak untuk mencapai cita-cita, mewujudkan masyarakat adil makmur dan ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. Mengapa demikian? Hemat kami adalah karena Bangsa Indonesia tidak fokus Membangun Jiwa warga bangsa, apalagi para pemimpinnya.