Jakarta (09/11) — Kasus temuan unsur radioaktif Cesium-137 pada produk perikanan udang Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat pada awal September lalu mengguncang para petambak dan pelaku usaha nasional. Harga udang di tingkat tambak langsung turun sekitar 20 persen, bahkan beberapa pabrik sempat menghentikan pembelian dari petambak. Proses reekspor juga terjadi terhadap sejumlah produk udang yang sedang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat memberikan batas waktu hingga 31 Oktober 2025 untuk pemenuhan seluruh prosedur baru bagi produk udang Indonesia yang akan kembali masuk ke pasar AS.
“Sejak kasus penemuan Cesium-137 dalam raker Komisi IV, saya sudah meminta dan memastikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan agar bertindak cepat. Ekspor udang ke AS menempati urutan keempat terbesar untuk seluruh jenis produk perikanan Indonesia,” papar Riyono Caping, Anggota Komisi IV DPR RI asal Magetan.
Langkah pertama yang ditempuh Riyono adalah membawa SPPI (Serikat Petambak Pantura Indonesia), organisasi yang menaungi para petambak kecil dan intensif beserta para pedagang, untuk berdiskusi dan berdialog dengan KKP terkait kondisi usaha budidaya udang vaname di kawasan pantura Jawa.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan merespons dengan baik masukan dan harapan petambak kecil. Dialog mencakup pembahasan pasar baru di luar AS, peningkatan skala industri udang vaname di pantura, serta peluang ekspor ke kawasan Asia yang digagas oleh KKP,” terang Riyono.
Langkah kedua, Riyono bersama SCI (Shrimp Club Indonesia) mengadakan pertemuan virtual melalui Zoom untuk membahas perkembangan industri udang pasca kasus Cesium-137. Pertemuan tersebut dihadiri Ketua Umum, Sekjen, jajaran pengurus SCI nasional, dan sejumlah pengusaha. “Intinya, SCI meminta bantuan agar saya membantu percepatan komunikasi dan langkah-langkah menghadapi kasus Cesium-137,” jelasnya.
Langkah ketiga, setelah pertemuan tersebut, Riyono memastikan dan meminta Dirjen PDS KKP untuk mengadakan pertemuan langsung dengan dirinya dan perwakilan SCI di kantor KKP guna membahas langkah penyelesaian kasus. “Alhamdulillah, pertemuan terlaksana dan menghasilkan rekomendasi serta informasi penting terkait langkah-langkah yang telah diambil KKP,” tambahnya.
“Pertemuan SCI dan KKP merupakan wujud pembelaan saya kepada petambak serta ikhtiar mencari solusi bagi industri udang nasional. Bersama Dirjen dan Sekjen SCI, akhirnya timeline dan action plan menuju 31 Oktober dapat tercapai,” ujar Riyono.
Selama proses menuju batas waktu 31 Oktober, Riyono terus memantau serta melakukan komunikasi dengan Badan Mutu KKP dan SCI terkait penerbitan sertifikat serta ketersediaan alat deteksi agar sesuai standar ekspor.
“Memang tidak mudah. Bapeten, Badan Mutu KKP, dan SCI sama-sama terkendala karena alat uji yang dibutuhkan ternyata hanya dimiliki oleh Bapeten. Jika ingin membeli, harus inden satu hingga tiga bulan, tidak memungkinkan dan sangat merugikan petambak. Namun sambil proses berjalan, seluruh persyaratan dan sertifikat bagi udang dari Jawa dan Lampung akhirnya dapat dipenuhi sehingga ekspor dapat kembali dilakukan per 31 Oktober 2025,” tutup Riyono
