Site icon Informasi Berita Rujukan Masyarakat Lampung

Penerimaan Pajak: Kebutuhan Negara atau Perut Pemangku Negara

OPINI Oleh: Arkan Fadillah

Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), telah memunculkan berbagai pertanyaan kritis di tengah masyarakat.

Salah satunya, untuk siapa sebenarnya penerimaan pajak itu? Untuk kebutuhan negara atau untuk mengisi perut para pemangku kebijakan?

Sejak awal wacana ini bergulir, publik telah disuguhi banyak inkonsistensi dalam komunikasi dan kebijakan fiskal pemerintah. Kenaikan PPN memang hanya satu bagian dari sistem perpajakan nasional, namun cukup mencerminkan bagaimana arah kebijakan ekonomi negara hari ini, cenderung top-down, kurang partisipatif, dan minim empati terhadap beban rakyat.

Sebagai bentuk kepedulian, dalam kegiatan Dauroh Marhalah 2, KAMMI Bandar Lampung melakukan wawancara langsung dengan masyarakat terkait pemahaman mereka tentang pajak.

Hasilnya mengejutkan, sebagian besar dari mereka tidak tahu-menahu soal pajak, padahal inilah sumber pendapatan terbesar negara yang langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari.

Pertanyaannya, mengapa negara yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia masih menjadikan pajak sebagai tumpuan utama? Dan lebih jauh lagi, apakah negara telah memberikan timbal balik yang adil dan nyata kepada rakyat dari dana yang mereka bayarkan setiap hari?

Kondisi ini menuntut kehadiran semua elemen bangsa, termasuk KAMMI, untuk aktif mengambil peran. Kesadaran masyarakat terhadap pajak masih rendah, dan dalam situasi seperti ini, sangat rawan bagi rakyat untuk dibodohi oleh pengelolaan yang tidak transparan.

Padahal sejatinya, pengelolaan pajak bukan hanya urusan pemerintah, tapi harus dikawal bersama oleh rakyat sebagai bentuk check and balance.

Kita tidak boleh berhenti pada narasi “taat pajak” semata. Lebih dari itu, masyarakat juga harus melek pajak, tahu dari mana uang negara berasal, kemana ia disalurkan, dan bagaimana dampaknya bagi kesejahteraan rakyat.

Pajak harus kembali kepada kemaslahatan umat, bukan malah menguap dalam proyek-proyek tanpa prioritas, atau lebih buruk lagi, dikorupsi oleh elite yang rakus.

Inilah saatnya mengampanyekan semangat baru, menjadi warga negara yang tidak hanya patuh membayar, tetapi juga aktif mengawal. Karena mengkritik pemerintah bukan berarti membenci, melainkan mencintai bangsa ini lebih dalam. Bukan menyebar kebencian, tetapi menyuarakan kepedulian terhadap kesengsaraan yang kerap terpinggirkan.

Jika negara menuntut kepercayaan rakyat, maka negara pun wajib membuka ruang partisipasi dan transparansi. Jika rakyat dituntut taat, maka negara harus terlebih dahulu menunaikan amanah.

KAMMI percaya, hanya dengan masyarakat yang cerdas dan pemerintah yang terbuka, pajak benar-benar bisa menjadi instrumen keadilan sosial, bukan sekadar alat menumpuk kekayaan penguasa.

Exit mobile version