Site icon Informasi Berita Rujukan Masyarakat Lampung

Lato-Lato Salafy

‎Ahmad Fathi Handawi, kolumnis Al-Jazeera, menuliskan sebuah judul yang sangat menohok: Salafy Al Saud dan Strategi Memecah Belah Umat, dimuat Aljazeera 1/8/2018. (silahkan cek: سلفية آل سعود واستراتيجيات تمزيق الأمة! | الجزيرة نت)

Penulis membagi Salafy Al Saud ke dalam tiga fase:

Fase pertama: Fase awal pendirian dinasti Al Saud. Lahirlah Salafy Jihadis, yang dikomandoi oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi dan Ahmad Al-Hazimi, seorang fundamentalis garis keras yang berafiliasi ke ISIS.

Fase kedua: Fase berdirinya negara Kerajaan Saudi Arabia. Lahirlah Salafy Ilmiyah, yang menyebarkan pemikiran Salafy Saudi ke seluruh dunia, termasuk Indonesa.

Fase ketiga: Fase Paska Perang Teluk, 1991, yang melahirkan Salafy Madkhali, yang dipimpin oleh Rabi’ Al-Madkhali, alumnus Universitas Madinah dan menjadi dosen di kampus tersebut.

Pada semua fasae tersebut, menurut putera mahkota Saudi Arabia, penguasa de facto Saudi Mohammed bin Salman mengatakan kepada Washington Post bahwa ekspor Salafisme Saudi dan dukungan dana tak terbatas, didasari pada permintaan sekutu blok Barat sejak Perang Dingin. MBS mengakui, rezim Saudi ikut serta mendanai lembaga-lembaga dakwah, organisasi Islam skala internasional, dan turut serta mendirikan kampus-kampus lembaga dan asosiasi nirlaba yang mempromosikan Salafisme Saudi.

Di Mesir, tutur MBS misalnya, Arab Saudi mendukung sepenuhnya aktivitas Anshar As-Sunnah, dan sebagian besar gerakan Salafi, juga Partai An-Nour, plus ikut serta membiayai percetakan buku-buku gratis atau yang dijual dengan harga “okazion” (diskon), seperti penerbit Dar Asad As-Sunnah atau penerbit Imam Al-Mujaddid yang menyebarkan pemikiran Al-Madkhali. Saudi pun turut serta mensuplai gaji bulanan, yang berdampak pada ketatnya kontrol terpusat, dan membuat beberapa elemen dan syekh gerakan Salafi memiliki keterikatan “buta”.

Salafy Berperan dalam Melanggengkan Rezim-rezim Anti Palestina

Model Terapan: Kasus Mesir pada 1970-an:. Tepatnya pada era Presiden Anwar Sadat. Ketika itu, Sadat yang terpojok karena menandatangai perdamaian dengan Israhell, terutama dari gerakan masyarakat bernama Ikhwanul Muslimin.

Dalam rangka mengahadapi IM, Sadat meminta Salafi Saudi, untuk menjadi gerakan antitesa terhadap perlawanan rakyat yang dikomando Ikhwanul Muslimin. Sejatinya, Salafy di Mesir sudah eksis sejak tahun 20-an, namun Sadat menjalin hubungan langsung dengan intelijen Saudi, untuk membuka jalan bagi transfer “ideologi” Salafisme baru (bukan Salafy yang esksi di Mesir). Mark Curtis, berdasarkan dokumen intelijen Inggris, menegaskan dalam bukunya “The Secret of History” bahwa Sadat menjalin hubungan rahasia dengan kepala intelijen Saudi, Kamal Adham, yang membentuk perjanjian Mesir-Saudi yang baru.‎

Tak lama berselang, Abdel Moneim Aboul Fotouh, ketua Kelompok Islamis di universitas-universitas Mesir mengatakan bahwa Salafisme Saudi telah “menganeksasi” program-progam “Islamisasi kampus” di universitas-universitas Mesir. Caranya sama: melalui buku-buku gratis yang berasal dari Arab Saudi dalam jumlah ribuan, bonus perjalanan haji dan umrah. Hasilnya, mahasiswa-mahasiswa bersangkutan, kemudian saat kembali telah berubah menjadi “syekh Salafi”.

Terhitung, Sadat sukses mencapai targetnya: membenturkan Salafisme dengan aktivis-aktivis gerakan Islam di kampus-kampus, tak lama berselang dari kehadiran Salafisme Saudi tersebut. Pada akhirnya mudah ditebak, faksi-faksi dan friksi memanas. Gerakan-gerakan aktivis Islam di kampus-kampus Mesir terberai: ada aktivis Islam yang pro IM dan ada yang pro Salafy Saudi yang anti dan menjadi musuh bagi gerakan IM. Pun demikian, Salafy pun mengalami pecah: ada salafy Jihadis dan ada Salafy murni keilmuan.

Salafy ilmi yang murni keilmuan pun terpecah lagi menjadi beberapa faksi. Ada generasi Salafi yang membentuk Jamaah Dakwah Salafiyah di Alexandria, dan ada yang membentuk Harakah Salafiyah di Kairo. Plus ketiga, tokoh-tokoh Salafy dan para da’i Salafy yang memilih independen, karena beranggapan “haram” hukumnya membentuk organisasi atau jamaah. Kelompok ini sering disebut sebagai “komunitas Salafy”, yang berbeda pada setiap desa atau kecamatan ketika itu.

Selain konflik di kalangan internal Salafy sendiri, khususnya setelah muncul gerakan Salafy Madkhali, Salafy pun tak bisa menghindari membuka konfrontasi dengan Al-Azhar Asy-Syarif yang berakidah Asy’ariyah. Tidak termasuk konflik dengan masyarakat awam, yang dijuluki oleh Fathi Utsman Wakil Jamaah Anshar As-Sunnah Al-Muhammadiyah di Mesir, “99 % umat Islam berada dalam kubangan Jahiliyah, baik dari segi amal, akidah, maupun akhlaknya.”

Di Indonesia, keberadaan Salafy, tentu mudah ditebak. Awalnya mengikuti gerakan Salafy Jihad khususnya jihad di Afghanistan yang dikomando oleh CIA dengan tokohnya Osama Ben Ladin. Tak sedikit aktivis Islam Indonesia yang kemudian bergabung menjadi relawan. Setelah era peang dingin berakhir, beberapa Jihadis ini membentuk JI atau ada yang bertaubat kembali ke pangkuan Pancasila, setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan CIA untuk menghancurkan Uni Soviet.

Paska 1991, kehadiran Salafy Ilmiah marak. Ketika itu, Saudi Arabia membuka beasiswa besar-besaran kepada mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia. Juga berinvestasi mendirikan kampus yang digandrungi warga Indonesia, karena gratis dan mendapatkan uang saku. Plus juru-juru dakwah yang diberikan fasilitas gaji murni puluhan juta dari Kedubes.

Hasilnya, apa yang terjadi di Mesir di era Sadat dan era As-Sisi, terjadi pula di Indonesia. Salafy menjelma menjadi antitesa ormas-ormas Islam diIndonesia, baik NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas-ormas lainnya. Pandangan Salafy kepada kaum awam Indonesia, tak jauh beda dengan pandangan Fathi Utsman Wakil Jamaah Anshar As-Sunnah Al-Muhammadiyah di Mesir, “99 % umat Islam berada dalam kubangan Jahiliyah, baik dari segi amal, akidah, maupun akhlaknya.”

Hal yang paling sering dibahas adalah: “Bid’ah”. Tapi di era Joko Widodo, beberapa juru dakwah Salafy, kemudian hadir di acara-acara “khusus” kepolisian yang ketika itu, head to head dengan gerakan 212, FPI, HTI dan PKS yang sering dijuluki sebagai Ikhwanul Musliminnnya Indonesia. Beberapa juru dakwah Salafy, mengharamkan demonstrasi melawan pemerintah yang sah, bahkan menghalalkan darah (menghalalkan pembunuhan) terhadap demonstran.

Puncaknya pada peristiwa pembantaian Muslim di Gaza, Salafy yang awalnya Ilmiyah dengan slogan “Selamat dengan Manhaj Salaf”, namun kemudian sedikit banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Salafy Madkhali, yang memang anti-Jihad, di beberapa kesempatan pro Zionisme karena sangat anti terhadap gerakan perlawanan melawan penjajahan Israhell yang dikomando oleh HAMAS dan Jihad Islam.

Di titik ini, apa yang disampaikan MBS ada betulnya, bahwa Salafy adalah produk dari sekutu di masa perang dingin. Fungsinya untuk menghadang gerakan kebangkitan umat Islam melawan hegemoni sekutu CIA. Sedangkan CIA sendiri mengelola sumber daya aktivis Liberal, ProDem, LGBT, PostModernisme, yang sama-sama berfungsi menghadang gerakan kebangkitan umat.

Itulah lato-lato Salafy Madkhali. Dua bandul yang digerakkan CIA, tapi korbannya sama: umat yang ingin merdeka dari penjajahan.

Exit mobile version