Jakarta – Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor), kerugian negara harus bersifat nyata (actual loss) dan tidak hanya berdasarkan potensi kerugian (potential loss). Pernyataan ini mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa kerugian negara harus dinyatakan secara jelas oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Juru Bicara MA, Yanto, menjelaskan bahwa penerapan prinsip kerugian nyata ini dilakukan untuk memastikan kepastian hukum yang adil dan sejalan dengan harmonisasi hukum nasional maupun internasional. Ia juga menambahkan, dalam teori hukum korupsi, potensi kerugian lingkungan tidak dapat dianggap sebagai kerugian nyata.
Kasus Korupsi Timah dan Vonis Harvey Moeis
Dalam perkara korupsi tata niaga komoditas timah yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, terdakwa Harvey Moeis dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara. Nilai kerugian tersebut berasal dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang merilis data terkait potensi kerugian dalam pengelolaan izin usaha pertambangan PT Timah Tbk periode 2015–2022.
Hakim menyatakan Harvey Moeis terbukti bersalah atas tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Sementara itu, aset milik terdakwa lain, Helena Lim, dikembalikan karena dinilai tidak terkait dengan tindak pidana. Keputusan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 46 dan 39 KUHAP yang mengatur bahwa barang bukti dapat dikembalikan jika tidak berkaitan dengan perkara.
Pengembalian Aset Helena Lim
Helena Lim, yang juga terlibat dalam kasus ini, divonis lima tahun penjara. Aset-asetnya dikembalikan setelah diputuskan bahwa barang-barang tersebut tidak terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Majelis hakim menyatakan bahwa barang bukti dapat disita, dimusnahkan, atau diambil alih oleh negara jika terbukti digunakan untuk melakukan kejahatan.