Site icon Informasi Berita Rujukan Masyarakat Lampung

BEJULUK BEADOK, NILAI SOSIAL DALAM GELAR ADAT LAMPUNG

Upacara pemberian gelar Lampung pada Wali Kota Bandar Lampung. (Instagram/eva_dwiana)

Oleh : Zainudin Hasan,SH,MH
Suntan Ratu Yang Tuan
Komisaris Utama wawaimedia.com

Nilai sosial adalah konsepsi abstrak tentang apa yang baik sehingga harus dianut dan apa yang buruk sehingga harus dihindari, contoh dari nilai sosial yang dianut oleh orang Lampung adalah Piil Pesenggiri, Sakai Sambayan, Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, dan Bejuluk Beadok. Nilai sosial tersebut kemudian telah menjadi falsafah hidup yang turun temurun dan mendarah daging terwarisi sejak dari zaman dahulu berpuluh-puluh bahkan beratus tahun lamanya hidup berkembang menjadi adab, adah, dan adat membudaya mengakar serta melekat meskipun terkadang oleh perubahan zaman mulai tergerus. Nilai-nilai tersebut kadang hilang ditinggalkan namun ada yang masih tetap terwarisi, terpelihara dan terjaga bahkan menarik untuk digali, dari mana, untuk apa, apa urgensinya dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam sistem kekerabatan keluarga dan hubungan masyarakat adat pada masyarakat adat lampung ada istilah yang namanya Tutogh, Juluk, dan Adok. Tutogh adalah panggilan untuk sistem kekerabatan yang bersifat bertingkat/berkasta/memiliki stratifikasi. Contoh Tutogh orang Lampung seperti : Kanjang, Kunjung, Kanjeng, Anjeng, Agen, Regen, Anjung, Tuan, Pun, Puan, Uwan, Wan, Wanda, Kanda, Pusat, Gusti, Kiyay, Batin, Tati, Titah, Itah, Papahan, Sumbahan, Rajo, Ajo, Menak, Minak, Agungan, Kagungan, Baginda, Ginda, Junjun, Junjunan, Akhi, Ahun, Akhuya, Susi, Sus, Ses, Radin, Adin, Uda, Udo, Cikwo, Yunda dan sebagainya. Tutogh tersebut begitu sangat banyak karena Lampung hampir banyak menyerap bahasa panggilan dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa termasuk panggilan Uni, Teteh dan Daing. Sedangkan Juluk adalah nama lain atau gelar yang diberikan kepada seseorang yang masih kecil atau belum menikah yang sifatnya juga bertingkat, juluk tersebut diberikan melalui proses Ruyang ruyang mandi pagi, Proses pemberian gelar dilakukan dengan cara nyanang yaitu menabuh canang disaksikan oleh tokoh-tokoh adat dan perwatin dalam rapat permusyawaratan adat dan pada saat pemberian gelar adat tersebut dibacakan pula pepancor yaitu sejenis pantun yang biasa dibacakan pada saat pemberian gelar-gelar adat pada masyarakat adat lampung. Juluk adalah nama kecil panggilan adat lampung biasanya pemberian dari kakek yang melekat terus sampai kemudian ia mendapat Adok.

Adok adalah nama lain atau gelar yang diberikan kepada seseorang (orang lampung) yang telah menikah yang sifatnya juga bertingkat/berkasta. Proses pemberian gelarnya pun hampir sama yakni dilakukan dengan cara nyanang yaitu menabuh canang disaksikan oleh tokoh-tokoh adat dan perwatin dalam rapat permusyawaratan adat. Adok tersebut didapat dan “diterangkan” melalui prosesi Begawi Mupadun Adat atau paling minimal melalui Begawi Nguruk diway (Begawi kecil dalam sistem hukum adat Lampung Pepadun khususnya Lampung Marga Sungkai Bunga Mayang). Dengan prosesi Begawi Mupadun atau Begawi Nguruk diway tersebut seseorang mendapatkan Adok sehingga sah secara adat untuk dapat diterima dalam pergaulan adat (Nyelesai Ko Rasan Adat) karena telah menyelesaikan acara adat di Tiyuh kediamannya disaksikan oleh tokoh-tokoh adat Paksi, Perwatin, Tuha Raja Bidang Suku dari Tiyuh dan Marga lainnya disekitar.

Bejuluk Beadok adalah sebagai suatu Titei Gumattei (tata ketentuan) pokok yang selalu diikuti yang diwariskan turun temurun dari zaman dahulu dengan menghendaki agar seseorang disamping mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya, bagi yang belum berkeluarga diberi Juluk (bejuluk) dan setelah berkeluarga diberi Adok (Beadok) sebagai salah satu bentuk kekayaan yang tidak dimiliki oleh suku bangsa lain. Falsafah hidup orang lampung tentang Bejuluk Beadok telah menjadi budaya hukum adat masyarakat dan telah menjadi asas dan norma sehingga berdasarkan Juluk Adok yang telah disandangnya seharusnya memiliki budaya malu dalam melakukan perbuatan tercela seperti : korupsi, mencuri, berzina, atau melakukan perbuatan tercela lainnya akan mengakibatkan turunnya nilai kehormatan bagi nama baik pelaku pemilik Juluk Adok dan keluarganya. Karena dalam prinsip juluk dan Adok bahwa harta dan uang bisa dicari dan dibeli akan tetapi harga diri, kehormatan, marwah, dan moralitas yang terjaga jauh lebih bernilai daripada harta dan uang. Nama baik atau nama besar dari Bejuluk Beadok adalah sebagai lambang kehormatan yang harus dapat dipertahankan dan dijiwai sesuai dengan kebesaran nama yang telah disandang.

Juluk dan Adok seseorang tidak sembarang orang dapat memakainya karena salah juluk dan salah Adok bagi orang lampung yang memegang teguh titei gumantie adat disebut perbuatan cempala/cepalo sebagai suatu bentuk pelanggaran adat karena melanggar asas kepantasan dan kepatutan. Bejuluk Beadok sepatutnya berdasarkan status pribadi dalam struktur kepemimpinan atau kedudukan adat (stratifikasi) dengan tidak menabrak aturan atau asal memberi nama dan gelar. Karena faktor keturunan, Anak Tertua, Kedudukan dalam Paksi menentukan gelar mana yang pantas untuk disandang. Sebagai contoh gelar Adok adalah mulai dari Suntan/Suttan, Sunan, Pengiran, Minak, Tuan, Raja, Radin/Raden, Batin  dan lain-lain yang terkadang setiap Kebuayan/Jurai, Keratuan/Kedatuan atau Marga/Mego tidak sama kedudukan ataupun urutannya hal tersebut disesuaikan dengan adat yang berlaku pada kelompok masyarakat adat yang bersangkutan.

Nama Juluk Adok yang diberikan merupakan identitas yang harus dijaga kehormatannya sebagai nama baik sebagai bagian dari Piil Pesenggiri orang lampung, karena tidak semua atau sembarang orang bisa mendapatkan gelar yang disematkan tersebut. Sebuah suatu kewajiban bahwa dalam bersikap dan berperilaku yang mencerminkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa untuk bisa menghormati terhadap sesama dalam pergaulan adat, baik dalam paksi-paksi, lebuh, Keratuan/kedatuan, Marga/Mego dan Kepenyimbangan. Pemberian gelar yang sesuai dengan garis nasab keturunan sehingga dalam tatanan kehidupan sehari-hari memiliki peran sesuai dengan tempat dan kedudukannya dilingkungan masyarakat adat, kepemerintahan ataupun hubungan tanggung jawab seseorang dengan Tuhannya.

Falsafah hidup orang Lampung tentang Bejuluk Beadok adalah salah satu bentuk kearifan lokal atau lebih dikenal dengan sebutan local wisdom yang dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Ciri kearifan lokal yang berporos pada proses sebuah kebaikan ketimbang aplikasi semata menjadikannya sangat jauh dari hal yang instan sehingga menjadi cermin budaya bagi masyarakat, menjadi akar dalam pedoman kehidupan yang turun temurun dan menjadi warisan bangsa yang kaya.

Waalahualam bisshawab.

Exit mobile version