Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Keputusan ini menyatakan bahwa seluruh partai politik peserta pemilu memiliki hak untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa syarat persentase kursi di DPR atau suara nasional.
Keputusan ini merupakan hasil dari Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang menilai bahwa aturan tersebut melanggar hak politik, kedaulatan rakyat, serta prinsip keadilan. MK juga mencatat bahwa aturan ini membatasi pilihan masyarakat, mempersempit peluang munculnya lebih banyak calon, dan berpotensi memicu polarisasi di tengah masyarakat.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa pembatasan ini bertentangan dengan semangat Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945, yang menekankan pentingnya kedaulatan rakyat dalam pemilu langsung. MK juga menyarankan agar perubahan UU Pemilu ke depan melibatkan partisipasi publik untuk mencegah terlalu banyaknya calon yang dapat mengganggu efektivitas pemilu.
Keputusan ini memberikan peluang yang lebih adil bagi partai kecil untuk mencalonkan presiden, memperkuat demokrasi, dan mencegah dominasi partai besar. Sebagai langkah lanjutan, MK juga menyarankan pemberian sanksi kepada partai politik yang tidak mengajukan calon presiden, berupa larangan mengikuti pemilu berikutnya.
Putusan ini diwarnai oleh adanya pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi, tetapi mayoritas hakim menyetujui bahwa pembatalan presidential threshold adalah langkah yang sesuai dengan konstitusi dan asas demokrasi Indonesia.