Rendahnya Pengetahuan Masyarakat soal Parpol dan Bahaya Politik Uang

0
128

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan partai politik (parpol) yang lolos menjadi peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Pada pertengahan Desember 2022 lalu, KPU menetapkan 17 parpol. Kemudian pada akhir Desember, KPU memutuskan Partai Ummat lolos verifikasi faktual.

Parpol yang dinyatakan lolos pun bersiap menyambut pemilu. Mereka akan saling bersaing untuk meraih suara terbanyak pada ajang lima tahunan tersebut.

Namun, saat ini masih banyak masyarakat yang belum tahu parpol apa saja yang akan mengikuti Pemilu 2024.

Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 20-22 Desember 2022, sebanyak 71 persen masyarakat belum tahu bahwa KPU telah menetapkan parpol peserta Pemilu 2024. Survei dilakukan dengan mewawancarai 506 responden di 34 provinsi.

Dalam jejak pendapat itu juga diketahui bahwa sebanyak 85 persen responden mengaku tak tahu jumlah parpol peserta Pemilu 2024. Sementara, hanya sekitar 15 persen responden yang mengaku tahu jumlah parpol peserta Pemilu 2024.

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai, persoalan tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi parpol dan KPU.

“Tak ada pilihan lain selain sosialisai politik secara masif yang mesti dilakukan KPU dan parpol,” ujar Adi kepada Rabu (4/1/2022).

Menurut Adi, rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai parpol peserta pemilu berpotensi menimbulkan politik uang yang masif. Sebab, masyarakat menjatuhkan pilihan tanpa mengetahui rekam jejak parpol yang dicoblos.

Baca Juga  Pengamat politik, Ujang Komarudin menduga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ingin melibatkan pihak Yahudi dalam upaya pencapresannya pada Pemilu 2024

“Dampak rendahnya rakyat mengenal partai ialah bahaya politik uang. Rakyat digiring dan dimobilisasi jelang pemilu dengan kekuatan logistik berlimpah tanpa mengenal rekam jejak partai yang akan dicoblos,” kata Adi.

Adi berpandangan, parpol harus berperan besar dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat.

Semakin masyarakat tidak kenal, maka akan rendah pula tingkat keterpilihan. Ini bisa berdampak fatal pada elektabilitas sehingga parpol tidak lolos ke parlemen.

Di sisi lain, kata Adi, parpol akan kurang maksimal jika hanya mengandalkan sosialiasi dari KPU. Selain waktu yang singkat, alat peraganya pun terbatas.

“Kalau berharap pada KPU tidak akan optimal. Hanya 75 hari KPU akan menyosialisasikan partai politik peserta pemilu. Itu enggak cukup. Apalagi alat peraganya juga terbatas. Tidak menjangkau lapisan rakyat terbawah,” ujar Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu.

Parpol baru harus kerja keras

Dari 18 parpol peserta Pemilu 2024, beberapa di antaranya merupakan partai baru. Menurut Adi, berdasarkan survei Parameter Politik Indonesia, tingkat pengetahuan publik terhadap partai politik baru masih sangat rendah.

“Problemnya dari data survei yang kita punya tingkat pengetahuan publik terhadap partai politik baru itu rendah betul. 0,0 sekian persen. Mungkin ini efek dari mereka belum melakukan sosialisasi dan kampanye politik. Tapi yang jelas partai politik baru ini tidak dikenal sama sekali oleh pemilih,” tuturnya.

Baca Juga  PDIP Undang Sejumlah Tokoh Nasional dalam Acara Bulan Bung Karno, Termasuk Sandiaga Uno

Parpol baru masih memiliki waktu untuk mengenalkan diri kepada masyrakat. Adi mengatakan, mereka masih punya kesempatan untuk merebut hati masyarakat.

Sebab, 80 persen masyarakat Indonesia belum menentukan pilihan partai atau tidak terafiliasi dengan salah satu partai politik tertentu.

Kendati begitu, Adi melihat bahwa parpol baru yang lolos menjadi peserta Pemilu 2024 masih kurang menyakinkan masyarakat. Karena selama ini mereka tidak menunjukkan sikap yang membuat masyarakat tertarik dan menganggap beda dengan parpol lainnya.

“Mereka tidak terlihat cukup berbeda dengan partai politik yang lain. Sikap mereka tidak kelihatan ketika ada kebijakan politik pemerintah yang cukup kontroversial tidak pro-rakyat. Paling hanya satu dua saja elite mereka yang berkomentar secara parsial tapi itu tidak dilakukan secara konfrontatif,” ujar Adi.

Adi mencontohkan bahwa di Partai Gelora yang tersorot hanya Fahri Hamzah secara personal. Namun anggota partai lainnya tidak muncul dalam memberikan pendapatnya tentang kebijakan pemerintah. Begitu juga Partai Ummat yang didirikan Amien Rais.

“Bahkan Fahri sama Amien Rais belakangan sering muji-muji pemerintah, tidak punya diferensiasi politik sebagai partai baru. Bagaimana mungkin rakyat mau berpaling dan memilih mereka,” katanya.

Adi menyebutkan, partai baru tidak mempunyai sosok sentral yang sekuat Megawati, Prabowo, dan tokoh partai lama lainnya yang mempunyai pendukung fanatik. 

Baca Juga  Menjabat Sebagai Gubernur DKI, PKS: Utang Budi Anies kepada Warga Jakarta, Bukan kepada Prabowo

Perlu membangun citra parpol

Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada Minggu (3/4/2022), tingkat kepercayaan publik terhadap parpol rendah. Dari 12 institusi, parpol berada di posisi terbawah dengan tingkat kepercayaan 54 persen.

Rendahnya kepercayaan publik tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi 18 parpol nasional yang lolos pemilu. Sebab sangat ironis jika institusi yang dianggap penting bagi demokrasi ternyata tidak dipercaya masyarakat.

“Partai politik dan DPR itu merupakan dua institusi yang paling rendah kepercayaan publik. Dua institusi yang dianggap penting bagi demokrasi tapi publik cukup rendah kepercayaannya. Mereka itu kerja dan hadirnya cuma lima tahun sekali. Tidak pernah muncul dalam momen kesengasaraan dan penderitaan rakyat,” ungkap Adi.

Adi menuturkan, parpol seharusnya hadir di tengah kesulitan rakyat. Hal itu akan berdampak pada tingkat keterpilihan di pemilu.

Sementara, meski tingkat kepercayaan terhadap parpol rendah, namun antusiame masyarakat untuk mengikuti Pemilu 2024 cukup tinggi.

Menurut Adi, berdasarkan survei pada November 2022, ada sekitar 68 persen masyarakat yang sudah memastikan datang ke TPS. Namun yang menggerakan pemilih ke TPS bukan parpol, melainkan calon yang maju pada Pemilu 2022.

“Karena yang menggerakkan mereka bukan partai, tapi calon-calonnya itu,” kata Adi.