Penanganan tim medis terhadap atlet bulu tangkis China, Zhang Zhijie, yang meninggal dunia dalam turnamen badminton di Yogyakarta “terlambat“, kata dokter ahli jantung. Menurutnya, kejadian itu adalah tamparan bagi Indonesia dan harus menjadi PR bersama.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, dr. Radityo Prakoso, SpJP(K) mengatakan seharusnya Zhang segera mendapatkan bantuan hidup dasar sejak dia jatuh, baik dengan resusitasi jantung paru (CPR – cardiopulmonary resuscitation) maupun dengan alat Defibrilator Eksternal Otomatis (AED).
“Kalau sudah meninggal itu, enggak bisa ditolong, pasti sudah permanently damaged. Jadi terlambat,” kata Radityo menanggapi jeda waktu penanganan terhadap Zhang.
Radityo mengatakan pertolongan di detik-detik pertama sangat penting dan meningkatkan peluang hidup seseorang yang mengalami henti jantung.
“Kalau sudah witness cardiac arrest, dia harus cepat ditolong. Kalau ditunggu 40 detik, dia survival rate-nya akan turun. Jadi terlambat… Kalau enam menit sudah permanent damage di otak, tanpa sirkulasi. Jantungnya sedikit telat dari itu,” kata Radityo saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (02/07).
Zhang Zhijie, 17 tahun, jatuh ke lantai dan mengalami kejang-kejang saat bertanding menghadapi atlet Jepang, Kazuma Kawamo, pada babak penyisihan BNI Badminton Asia Junior Championships 2024 di GOR Amongrogo, Yogyakarta, Minggu (30/06).
Terdapat jeda waktu sekitar 40 detik bagi Zhang untuk mendapatkan pertolongan pertama karena tim medis menunggu izin dari wasit.
Kemudian, butuh waktu satu menit 20 detik bagi tim medis dari pertama kali masuk lapangan hingga memutuskan membawa ke rumah sakit.
Setelah itu, perjalanan Zhang ke RS yang berjarak 4,7 km memakan waktu 10 menit, kata Juru Bicara Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), Broto Happy.
Di RS, Zhang baru menjalani pijat jantung luar disertai alat bantu napas karena tidak ada napas spontan. Zhang lalu dinyatakan meninggal dunia pada malam harinya akibat henti jantung mendadak.
Kematian Zhang telah memicu kecaman di media sosial, baik di China maupun Indonesia lantaran ada jeda waktu bagi tim medis untuk masuk lapangan.
“Mana yang lebih penting – aturan atau nyawa seseorang?” tulis sebuah komentar yang disukai ribuan orang di platform media sosial China, Weibo.
Pertolongan bagi Zhang ‘terlambat’
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, dr. Radityo Prakoso, SpJP(K) mengatakan bantuan hidup dasar ke seseorang yang terkena henti jantung sangat penting dan dapat meningkatkan peluang hidup.
Pertolongan itu bisa dilakukan baik dengan CPR atau dengan alat Defibrilator Eksternal Otomatis (AED).
”Jadi dengan AED…dia sangat meningkatkan survival pada menit-menit pertama. Tapi kalau seandainya tidak ada, dengan melakukan hands-only CPR, ini sudah bisa sangat-sangat membantu untuk mengembalikan pasien yang kolaps,” papar Radityo.
Radityo menambahkan pertolongan hidup dasar itu harus segera dilakukan.
“Jadi kalau [tim medis] sudah menyaksikan henti jantung, dia [Zhang] harus cepat ditolong. Kalau ditunggu 40 detik, survival rate-nya akan turun. Jadi terlambat,” ujar dokter Radityo.
“Jadi kemungkinan untuk kembali lagi makin turun, menit demi menit. Kalau enam menit sudah permanent damage di otak tanpa sirkulasi,“ katanya.
Radityo menambahkan, “Kalau ini [kasus Zhang] dikerjakannya sudah berapa menit. Jadi dia dari kolaps, diam, datang tim medis, pindahkan ke tandu, coba kita evaluasi ya. Jadi ini adalah PR kita bersama ini di Indonesia. Ini tamparan juga.”
Sementara terkait waktu yang dibutuhkan untuk membawa ke tandu selama satu menit 20 detik dan 10 menit sampai rumah sakit lalu menjalani pijat jantung, Radityo mengatakan langkah itu telah terlambat.
”Pasti sudah permanently damaged, jadi terlambat. Jadi intinya adalah bagaimana memfasilitasi bahwa seluruh masyarakat harus mengetahui bantuan hidup dasar atau basic life support,” kata Radityo.
Bagaimana kronologi pertolongan versi PBSI?
Dalam konferensi pers pada Senin (01/07) lalu, Broto Happy selaku jubir PBSI menjelaskan, tim medis masuk ke lapangan untuk melakukan pertolongan pertama ke Zhang usai mendapatkan izin dari wasit – merujuk pada aturan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF).
Juru bicara PBSI, Broto Happy, menjelaskan hal itu terjadi karena tim medis harus mengikuti aturan di mana mereka memerlukan izin wasit sebelum memasuki lapangan.
“Itu sesuai dengan peraturan dan standar prosedur yang berlaku pada setiap turnamen bulu tangkis internasional,” ujar Broto.
Selain bulu tangkis, badan olahraga profesional lainnya, seperti Asosiasi Sepak Bola Inggris, memiliki aturan serupa.
Menurut Broto, tim medis menyatakan Zhang mengalami penurunan kesadaran dengan pernapasan tidak memadai sehingga dia harus dilarikan ke rumah sakit.
“Kemudian, hanya memerlukan waktu satu menit 20 detik pada saat dokter pertama kali masuk lapangan, sehingga memutuskan untuk segera dibawa pakai ambulans ke rumah sakit,” kata Broto.
Zhang dilarikan ke rumah sakit rujukan RSPAU Dr. S. Hardjolukito berjarak 4,7km. Perjalanan memerlukan waktu 10 menit.
Sesampainya di RS, Broto mengatakan, Zhang menjalani assessment.
Hasilnya tidak ditemukan denyut nadi dan napas spontan, sehingga dilakukan prosedur pertolongan medis berupa pijat jantung luar.
“Prosedur pijat jantung luar disertai alat bantu napas selama tiga jam, korban tidak menunjukkan respon sirkulasi spontan dan mulai timbul tanda kematian sekunder. Tim medis telah menyatakan korban meninggal dunia pada pukul 20.50 WIB kepada pihak official team China,” papar Broto.
Atas kejadian ini, PBSI akan menyurati BWF terkait prosedur standar operasi (SOP) pertolongan bagi atlet saat kondisi darurat menyusul meninggalnya Zhang.
‘Mana yang lebih penting – aturan atau nyawa seseorang?’
Dalam video pertandingan antara Zhang dan Kazuma yang dibagikan luas secara online, terlihat jeda sekitar 40 detik dari Zhang tersungkur di lantai sampai petugas medis masuk ke lapangan untuk merawatnya.
Hal itu terjadi, menurut Broto Happy selaku jubir PBSI, karena tim medis harus mengikuti aturan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF).
Namun di kalangan pengguna platform media sosial China, Weibo, muncul kemarahan dan banyak yang mengecam aturan tersebut.
“Mana yang lebih penting – aturan atau nyawa seseorang?” kata sebuah komentar yang disukai ribuan orang.
“Apakah mereka melewatkan ‘masa emas’ untuk menyelamatkannya?” kata komentar lain menggunakan tagar kematian Zhang, yang telah menjadi trending topic di Weibo selama berhari-hari.
Komentar lain menyerukan Federasi Bulu Tangkis Dunia untuk “merombak” peraturan tersebut, salah satunya mengatakan: “Mengapa kita memerlukan izin ketika nyawa dipertaruhkan?”