Pendahuluan
Setiap bangsa punya luka sejarahnya sendiri. Indonesia salah satunya: peristiwa G30S, yang sering kita dengar lewat cerita orang tua atau film dokumenter. Ada darah, ada pengkhianatan, ada duka yang tidak mungkin dilupakan. Tapi pertanyaannya, apakah sejarah itu hanya untuk dikenang dengan rasa takut?
Generasi muda sekarang mungkin merasa peristiwa itu sudah jauh banget, kayak nggak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Padahal, justru dari tragedi itulah kita bisa belajar banyak. Bukan sekadar soal politik, tapi soal betapa pentingnya menjaga persatuan, iman, dan nilai-nilai kebangsaan.
Sejarah memang kelam, tapi bukan untuk dihindari. Dari Lubang Buaya kita melihat betapa rapuhnya bangsa kalau terpecah oleh ideologi yang salah arah. Dan dari panggung dakwah hari ini, kita bisa menjadikan kisah itu sebagai bahan renungan: bagaimana kita, sebagai generasi muda, bisa memastikan tragedi serupa tidak terulang lagi.
Lubang Buaya: Jejak Luka Sejarah Bangsa
Kalau dengar kata Lubang Buaya, yang terbayang seringkali suasana menyeramkan. Lokasi itu jadi saksi bisu gugurnya para jenderal yang kemudian disebut Pahlawan Revolusi. Buat generasi sekarang, Lubang Buaya bukan cuma tempat wisata sejarah, tapi pengingat bahwa bangsa ini pernah diguncang makar yang hampir bikin Indonesia hancur.
Yang perlu kita pahami, peristiwa itu bukan sekadar “cerita lama” atau “film wajib sekolah”. Ia adalah simbol betapa bahayanya kalau ada kelompok yang lebih mementingkan ideologi sempit dibanding persatuan bangsa.
Jadi, Lubang Buaya seharusnya nggak cuma jadi spot foto atau tempat study tour, tapi ruang refleksi. Dari sanalah kita bisa tarik pesan: jangan pernah biarkan bangsa ini jatuh lagi ke lubang yang sama.
Bahaya Ideologi yang Menafikan Tuhan
Salah satu hal yang bikin G30S jadi sangat berbahaya adalah karena ideologinya jelas-jelas menolak keberadaan Tuhan. Ya ideologi komunisme, dibangun di atas pandangan hidup materialistis: manusia dianggap hanya makhluk ekonomi, tanpa dimensi iman dan akhirat. Kalau agama dihapus, apa yang tersisa untuk jadi pegangan hidup?
Islam menegaskan bahwa hidup manusia tidak bisa dipisahkan dari iman.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124)
Artinya, kalau manusia menjauh dari Allah, hidupnya justru jadi kacau, sempit, dan kehilangan arah. Sejarah G30S jadi contoh nyata: ketika ideologi yang menafikan Tuhan dijalankan, hasilnya bukan ketenangan tapi justru pertumpahan darah dan perpecahan.
Buat generasi muda sekarang, pesan ini penting banget: jangan sampai kita gampang tergoda dengan ide-ide yang kelihatannya keren atau revolusioner, tapi ujungnya bikin kita jauh dari agama.
Pancasila dan Nilai Islam: Penjaga Persatuan
Banyak yang bilang Pancasila itu buatan manusia, jadi nggak ada hubungannya sama agama. Padahal kalau kita lihat lebih dalam, nilai-nilai Pancasila itu sejalan sama ajaran Islam. Misalnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan untuk beriman. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sejalan dengan perintah Islam untuk berlaku adil kepada siapa pun.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Kalau kita renungkan, Pancasila bukan sekadar dasar negara, tapi pagar persatuan. Dengan Pancasila, umat Islam bisa hidup damai berdampingan dengan umat lain. Dengan Pancasila pula, kita bisa punya “rumah bersama” yang melindungi semua warga tanpa harus mengorbankan akidah masing-masing.
Jadi, menjaga Pancasila sama aja dengan menjaga ajaran Islam tentang persatuan dan keadilan. Bagi generasi muda, ini PR penting: jangan gampang diadu domba oleh isu-isu politik atau ideologi lain. Ingat, kalau kita pecah, yang rugi bukan cuma satu kelompok, tapi seluruh bangsa.
Dakwah Persatuan: Dari Konflik ke Ukhuwah
Kalau kita lihat akar masalah G30S, intinya adalah perpecahan. Ada kelompok yang lebih mementingkan ideologi dan ambisi kekuasaan daripada persatuan bangsa. Hasilnya? Konflik, pertumpahan darah, dan luka sejarah yang panjang.
Islam mengingatkan umatnya untuk selalu menjaga persaudaraan. Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” (QS. Ali Imran: 103)
Sebagai generasi muda Muslim, kita punya tugas dakwah: bagaimana mengajak masyarakat hidup rukun, saling menghormati, dan nggak gampang terprovokasi. Dakwah persatuan ini sangat penting, karena musuh bangsa seringkali memanfaatkan celah perpecahan untuk melemahkan kita dari dalam.
Dari tragedi G30S kita belajar: konflik hanya melahirkan kehancuran. Tapi kalau kita pegang teguh ukhuwah—baik ukhuwah Islamiyah (sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (sesama bangsa), maupun ukhuwah insaniyah (sesama manusia)—maka Indonesia akan jadi bangsa yang kuat, damai, dan dihormati dunia.
Pemuda sebagai Penjaga Masa Depan
Sejarah G30S ngasih pesan jelas: kalau generasi mudanya lengah, bangsa ini bisa tergelincir ke jurang yang sama. Karena itu, pemuda punya peran vital sebagai guardian—penjaga masa depan bangsa.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu…” (HR. Hakim)
Hadis ini menegaskan bahwa masa muda itu modal emas. Bukan cuma untuk urusan pribadi, tapi juga untuk menjaga agama, bangsa, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan.
Pemuda hari ini bisa menjaga Indonesia dari bahaya ideologi menyimpang dengan cara yang relevan: aktif di media sosial untuk menyebar konten positif, ikut komunitas dakwah kreatif, atau terlibat dalam kegiatan sosial yang bikin umat makin solid.
Kalau pemuda peka dan peduli, nggak ada ruang buat ideologi anti-Tuhan atau gerakan makar merusak NKRI. Tapi kalau pemuda cuek, di situlah celah musuh masuk.
Jadi, kuncinya: pemuda harus melek sejarah, kuat iman, dan aktif dalam dakwah. Dengan begitu, masa depan Indonesia tetap cerah dan terjaga.
Penutup
Peristiwa G30S memang pahit untuk dikenang. Tapi justru dari sanalah kita bisa belajar bahwa bangsa ini hanya bisa bertahan kalau rakyatnya bersatu, berpegang teguh pada nilai agama, dan saling menjaga.
Bagi umat Islam, tragedi itu jadi pengingat penting: jangan pernah kasih ruang pada ideologi yang menafikan Tuhan, jangan gampang terprovokasi, dan jangan biarkan perpecahan tumbuh di tengah masyarakat.
Kini, tugas kita bukan lagi mengangkat senjata, tapi mengangkat semangat dakwah persatuan. Dari masjid, majelis taklim, media sosial, sampai komunitas anak muda—semua bisa jadi panggung dakwah yang menguatkan iman sekaligus menjaga NKRI.
Kalau generasi muda bisa mengambil hikmah dari sejarah, insyaAllah bangsa ini nggak akan jatuh ke lubang yang sama. Dari Lubang Buaya, kita melangkah ke panggung dakwah, membawa pesan damai, persatuan, dan cinta tanah air.
Itulah cara terbaik menghormati para pahlawan yang gugur, sekaligus cara paling nyata menjaga masa depan Indonesia.
Oleh: H. Agus Mukhandar, M.Pd.I (Ketua Dewan Da’wah Kota Bandar Lampung dan Penyuluh Agama Islam Kota Bandar Lampung)